Headlines News :
http://picasion.com/i/1URpX/
http://picasion.com/i/1UScV/
Home » , » Ujian Nasional Yang Penuh Dilema

Ujian Nasional Yang Penuh Dilema

On Friday, April 26, 2013 | 6:40 PM

Baco Maiwa SE

Sebagai lembaga pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia cerdas, kreatif, inovatif, beriman, dan bertakwa. Tentu, dalam pelaksanaan proses belajar mengajar harus dilaksanakan dengan sadar, penuh tanggungjawab, serta konsisten terhadap tujuan yang sesuai dengan visi dan misi pendidikan nasional. Disamping itu pula harus mengacu kepada sistem dan pedoman yang ada, sehingga siswa nantinya siap dan matang dalam menghadapi ujian nasional.
Ujian nasional (UN) perlu diadakan sebagai indikator atau alat ukur untuk mengetahui mutu atau kualitas pendidikan di Indonesia. UN dilaksanakan sekali dan setahun secara menyeluruh diseluruh Indonesia disetiap jenjang satuan pendidikan. Disamping itu pula, UN menelan anggaran Negara tidak sedikit, miliaran bahkan triliunan rupiah. 
Detik-detik UN sudah ada di depan mata. Gelar kelulusan yang menjadi idaman setiap siswa nyaris dirindukan. Gelar kelulusan ternyata sangat indah, manis, dan menggoda setiap siswa. Tanggal 15–18  April 2013 UN dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia untuk jenjang SMA/MA/SMK. Ini merupakan momentum untuk menunjukan kemampuan setiap siswa terhadap materi pelajaran yang dilaksanakan selama tiga tahun.
Kelulusan merupakan proses perpindahan  dari status siswa ke mahasiswa atau proses yang menandakan telah menyelesaikan studi di jenjang Sekolah Menegah Atas (SMA) yang sebelumnya bergelut selama tiga tahun. Kaitanya dengan hal ini, kelulusan tidak didapat dengan begitu saja, semudah membalikan telapak tangan. Kelulusahan harus ditempuh melalui UN yang standar dan pelaksanaanya sudah ditetapkan oleh pemerintah. Jika siswa tersebut tidak mampu memenuhi standar kompetensi kelulusan, dinyatakan tidak lulus. Begitu juga sebaliknya, jika siswa tersebut mampu memenuhi standar kompetensi kelulusan, maka siswa dinyatakan lulus.
Masalahnya adalah apakah siswa mampu memenuhi standar  kompetensi kelulusan? jika diamati dari hasil UN dari tahun ke tahun banyak siswa yang lulus dan melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Jadi, dilihat dari hasilnya, dapat dikatakan siswa mampu menuhi standar kompetensi kelususan tersebut. Terus bagaimana dalam pelaksanaanya? apakah siswa yang lulus tersebut murni memiliki kemampuan menjawab soal-soal dalam UN tanpa campur tangan guru-guru? Jawaban pertanyaan ini penulis serahkan kepada pembaca. Penulis hanya memberikan gambaran. Jika jawannya ya. Maka, UN merupakan indikator atau alat ukur yang tepat dalam menilai mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia. Dan jika jawabannya tidak. Maka, UN bukan merupakan sebuah keniscayaan, melainkan sistem yang dapat membentuk “lingkaran setan” atau “noda” di satuan-satuan pendidikan serta pemborosan anggran negara. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi kembali tentang pelaksanaan UN atau mencari sistem lain yang lebih tepat, bermanfaat dan bermartabat.
Bagaimana dengan hakekat evaluasi yang sesungguhnya? Banyak pendidik menilai bahwa UN merupakan evalusi yang tidak adil bagi siswa khusnya dan kulitas pendidikan pada umumnya. Tidak adil jika proses pendidikan yang dilaksanakan selama tiga tahun dievaluasi hanya empat hari. Tidak adil jika mutu dan kualitas pendidikan dinilai hanya pada aspek pengetahuan saja. Bagaimana dengan keterampilan dan sikap? Sedangkan dalam evaluasi kualitas pendidikan itu harus mencakup tiga aspek yakni pengetahuan, keterampilan, dan sikap.


Disamping, seperangkat persoalan di atas, masalah yang lebih urgen adalah kesiapan siswa sebagai aktor utama yang menghadapi UN, dalam hal ini berkaitan dengan kesiapan mentalnya. Banyak siswa mengaku tidak siap dengan UN sehingga tidak heran banyak siswa merasa takut, bimbang, resah, galau dll. Kenapa tidak? Meraka dihadapkan dengan pilihan “tidak lulus”, jika ini terjadi maka siswa akan dikucilkan, diremehkan, dan dipermalukan oleh teman-temannya. Untuk mengantisipasi permasalahan diatas, berbagai persiapan telah dilakukan oleh pihak sekolah maupun para siswa. Mulai dari persiapan akademis, psikologi maupun taktis. Bekal akademis diberikan melalui penambahan jam belajar untuk mata pelajaran yang diujikan. Bekal psikologis diinput melalui pendekatan training motivasi baik lewat ceramah, kunjungan studi maupun lewat pendekatan agama. Nah, persiapan ketiga adalah bekal taktis. Persiapan ini agak unik karena penuh dengan akal busuk dan permainan kotor yang melibatkan guru.
Siapa yang tak sedih jika melihat siswa binaannya tak lulus UN? Sekolah mana yang tak malu jika banyak siswanya tak lulus UN? Yang jelas lagi kepala dinas pendidikan mana yang tidak galau jika banyak siswa di daerahnya yang tidak lulus UN? Maka dilakukan strategi-strategi penyelamatan secara sistematis. Suatu kali saya pernah menanyakan kepada seorang kepala sekolah terkait tingkat kelulusan siswanya tahun kemarin. Dengan agak diplomatis beliau menjawab, “semuanya diluluskan”. Ada sedikit kejanggalan. Bukankah kelulusan tergantung pencapaian nilai minimal? Bahasa yang digunakan sang Kepala Sekolah, “diluluskan” bukan “lulus”. Artinya terdapat unsur pihak ketiga. Setelah dikejar, ternyata beliau mau mengaku bahwa semuanya diluluskan dengan pertolongan guru-guru yang memberikan jawaban soal saat ujian. Wah…
3 tahun di SMA belajar berbuat jujur. Setiap mencontek dimarahi. Saat ulangan guru mengawasi agar tidak mencontek. Saat UN, puncak dari segala puncak ujian, guru dengan sangat ‘baik hati’-nya memberikan kunci jawaban. Seolah menyusui sambil menikam. Dilema memang. Konsisten pada kejujuran di UN ini bisa jadi artinya sungguh berisiko. Untuk murid, bisa jadi tidak lulus. Untuk guru, bisa jadi akan dimarahi kepala sekolah, dimarahi kepala dinas dan yang lebih parah lagi dimarahi oleh orang tua murid yang kalap serta tidak jarang membawa parang panjang ke sekolah ingin menumpahkan kekesalahan dan kekecewaan kepada para penyelenggara sekolah, bahkan ada kejadian siswa yang tidak lulus UN nekat membakar sekolah (tragis). Untuk kepala sekolah dan pengawas sekolah, artinya mungkin dianggap tidak bisa ‘mengatur’. Untuk kepala UPTD pendidikan, mungkin artinya tak jadi naik jabatan. Dan seterusnya.
Tiap daerah berlomba dapat nilai bagus. Sayangnya perlombaan itu tak ditemani pemerataan kualitas pendidikan. Indikatornya dari ketidakmerataan fasilitas pendidikan dan kualitas guru. Menteri pendidikan membuat perlombaan. Gubernur, bupati, dinas pendidikan, semua ingin turut serta. Di bawahnya ingin terlihat menyumbang kemenangan. Jalan pintas pun dipilih.
Tapi mau bilang apa? Mereka semua korban. Korban dari mata rantai perlombaan tahunan yang ending-nya selalu menyedihkan. Anak-anak itu butuh mental yang sehat, yang tak tercemari ajaran berbuat curang. Guru-guru itu perlu kenyamanan dalam mengajar; kenyamanan finansial dan kenyamanan intelektual (pengetahuan yang cukup, kapasitas mengajar yang baik). Selanjutnya lupakan pengawas sekolah yang mencari aman atau kepala UPTD dan kepala dinas pendidikan yang tak punya visi pendidikan yang kuat.
Niat baik Departemen Nasional untuk memberikan standar tertentu kepada para siswa akhirnya mental oleh jajarannya sendiri. Unsur kepedulian berkelindan dengan motivasi menyelamatkan nama sekolah telah mengaburkan originalitas dan moralitas akademis. Contek-menyontek merupakan persoalan klasik dalam dunia pendidikan kita. Bahkan sampai ke perguruan tinggi-pun masih ada. Guru yang seharusnya menjadi gerbang utama untuk membasmi penyakit kronis ini, jika sudah melegalkan upaya pemberian jawaban saat UN, maka akan dikemanakan pendidikan kita? Untuk maju memang dibutuhkan tamparan. Kadang tingginya tingkat kelulusan menjadi resiko sebuah perubahan. Ruh suatu bangsa terletak pada standar pendidikan. Jika mau maju maka kita harus menaikan terus menerus standar itu.
Satu hal yang luput dari perhatian kita adalah sejak standarisasi UN diberlakukan, semua sekolah melakukan pembenahan. Siswa-siswi tak lagi malas-malasan belajar. Semuanya berpacu dan beberapa dari mereka melejit dengan raihan prestasi-prestasi nasional maupun internasional dalam olimpiade-olimpiade yang dilakukan secara berkala. UN telah mendorong sekolah-sekolah untuk memperbaiki diri dan beberapa tahun terakhir berhasil menembus nilai teratas dalam UN.
Dilema UN memang telah menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi semakin meningkatkan semangat para siswa untuk belajar, tapi di sisi lain semakin memassifkan kecurangan. Semua pihak memiliki argumen masing-masing yang cukup bisa diterima. Pihak yang pro beralasan dengan peningkatan kualitas pendidikan nasional, sedangkan pihak yang kontra beralasan dengan rasionalisasi pengabaian proses 3 tahun lewat ujian yang hanya beberapa hari.
Berangkat dari beberapa masalah di atas, sudah menjadi tugas dan tanggungjawab seluruh masyarakat pada umumnya dan pemerintah khususnya agar masalah-masalah tersebut tidak berkepanjangan. Perlu dilakukan identifikasi secara tajam dan mendalam, sehingga persoalan-persoalan tersebut dapat diatasi dengan baik. Mutu dan kualitas pendidikan pun dapat dijamin substansinya; inilah negeri-ku, apakabar negeri-mu..? (Wallahu’alam)
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

http://picasion.com/i/1USKG/
 
Support : Bang Eceng | Template | @Adhittia_Egha
Copyright © 2013. Suara Uncak Kapuas - All Rights Reserved
Dirancang Oleh Adhittia Egha Atau Bang Eceng