Headlines News :
http://picasion.com/i/1URpX/
http://picasion.com/i/1UScV/
Home » , , » Memahami UU Pencucian Uang dan Akibat Hukumnya | Oleh Prof. ROMLI ATMASASMITA

Memahami UU Pencucian Uang dan Akibat Hukumnya | Oleh Prof. ROMLI ATMASASMITA

On Thursday, June 27, 2013 | 11:47 PM


Pembentukan opini publik via pers bebas dalam perkara tipikor saat ini telah melampaui batas kepatutan dan kesusilaan. (Prof Romli Atmasasmita)

ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)

Keberadaan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) sejak pertama sampai pada perubahan kedua pada tahun 2010 dilandaskan pada beberapa pertimbangan.

Pertama, dalam aktivitas organisasi kejahatan di beberapa negara, terutama yang bergerak dalam kejahatan serius seperti narkotika, perbankan, pasar modal dan perdagangan manusia serta senjata api, mereka telah terbiasa menempatkan, menyamarkan atau menghibahkan hasil kejahatan tersebut. Hasil kejahatan dipandang sebagai “darah segar” organisasi kejahatan tersebut.

Kedua, perlu ada perubahan strategi baru dalam menumpas kejahatan serius melalui menelusuri aliran dana hasil kejahatan sehingga diharapkan seluruh kaki tangan organisasi kejahatan dan orang yang terlibat ikut menikmati hasil kejahatan dapat diungkap tuntas. Ketiga, keberadaan UU TPPU bertujuan menciptakan ketahanan pada diri setiap orang agar waspada dan berhati- hati melakukan transaksi apa pun, termasuk menerima uang yang tidak jelas asal usul uang tersebut (preventif).

Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU TPPU 2010 dinyatakan bahwa sepanjang penerima dana tidak mengetahui bahwa dana yang diterima berasal dari transaksi yang melanggar hukum dan tidak terbukti ada keinginan dan tujuan untuk memperoleh dan menikmati dana tersebut, penerima tidak dapat didakwa perbuatan pencucian uang (pasif).

Tujuan awal UU TPPU adalah menghentikan kehidupan organisasi kejahatan dengan merampas harta kekayaan yang berasal atau dinikmati dari kejahatan dengan praduga bahwa setiap harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana adalah tidak seharusnya dikuasai atau dinikmati oleh orang yang bersangkutan.

Berdasarkan tujuan tersebut, strategi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang bersandar pada praduga bersalah (presumption of guilt) sehingga pemilik harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana diwajibkan membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Strategi ini berbeda dengan strategi umum yang berlaku dalam tindak pidana lain seperti korupsi di mana tujuan penghukuman adalah tujuan utama membuktikan kesalahan terdakwa dengan bersandar pada praduga tak bersalah (presumption of innocence).

Secara teoretis pembuktian terbalik untuk asal usul harta kekayaan dilandaskan pada balanced probability principle. Pendekatan ini membedakan sekaligus menyeimbangkan prinsip praduga tak bersalah terhadap perbuatan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dan prinsip praduga bersalah terhadap harta kekayaan seseorang yang diduga berasal dari tindak pidana.

Kedua prinsip hukum tersebut tidak boleh digabungkan karena jika langkah hukum tersebut dilakukan melanggar prinsip ne bis in idem dan prinsip non-self incrimination; dan jika prosedur pembuktian tersebut dilaksanakan, langkah hukum tersebut cacat hukum dan dapat dibatalkan.

Jika penyidik mengubah strategi pembuktian semula hendak membuktikan kesalahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana kemudian menggunakan strategi pembuktian atas harta kekayaan pelaku yang diduga diperoleh dari tindak pidana, menurut teori di atas pembuktian harta kekayaan tidak dapat digunakan sebagai pembuktian pada perkara tindak pidana asal (predicate crime).

Rambu-rambu pembatas wewenang penyidik dan penuntut khusus KPK tercantum dalam Pasal 63 UU KPK yang memberikan sarana hukum untuk mengajukan keberatan dan gugatan kompensasi atau rehabilitasi melalui pengadilan tipikor dan sekaligus upaya hukum praperadilan.

Dalam hal penyidik dan penuntut menggeser pembuktian pada dugaan tindak pidana pencucian uang, rambu-rambu pembatas tercantum dalam Pasal 11 UU TPPU yang melarang penjabat PPATK, penyidik, penuntut, dan hakim memberikan informasi indikasi pencucian uang kepada publik dan pelanggaran terhadap larangan tersebut diancam dengan pidana paling lama empat tahun penjara.

Rambu pembatas lain khususnya terhadap hakim dalam perkara tipikor dan perkara TPPU tercantum dalam Pasal 19 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang mengamanatkan prinsip kehati-hatian terhadap hakim dalam memutus dan merampas harta kekayaan yang berasal dari tipikor karena di dalam ketentuan tersebut diberikan hak kepada pihak yang beriktikad baik untuk mengajukan gugatan keberatan ke pengadilan tipikor.

Keberadaan UU Tipikor dan UU TPPU dalam sistem hukum pidana Indonesia menjadi rambu-rambu pembatas kewenangan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan. Karena penyusun kedua UU tersebut telah berpegang pada prinsip proporsionalitas dan subsidiaritas (J.Remmelink) dengan harapan penyidik, penuntut, dan hakim menggunakan kewenangannya dengan teliti berdasarkan prinsip kehati- hatian.

Dengan demikian nantinya tidak mengakibatkan kontraproduktif baik terhadap pelaku maupun korban khususnya dan iklim kehidupan masyarakat pada umumnya. Dalam praktik penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan tipikor, tampak praktik hukum yang masih memperlihatkan kecerobohan dan kesewenang-wenangan.

Pertama, kebiasaan penyusunan surat dakwaan yang mencantumkan status terdakwa dalam konteks penerapan Pasal 55 KUHP tanpa terlebih dulu penetapan sebagai tersangka bahkan tidak pernah diperiksa sebagai tersangka. Cara ini jelas merupakan pelanggaran hak asasi yang bersangkutan dan potensial digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH).

Kedua, konten hasil BAP yang tersebar luas di majalah dan koran tertentu yang melanggar prinsip praduga tak bersalah dan sekaligus melanggar ketentuan UU TPPU sebagai lex specialis dalam sistem hukum pidana Indonesia.

Ketiga, pembentukan opini publik via pers bebas dalam perkara tipikor saat ini telah melampaui batas kepatutan dan kesusilaan. Karena dikesankan seseorang tersangka kasus korupsi secara sosial telah dianggap bersalah dan dalam keadaan sedemikian sangat sulit bagi pengadilan untuk melaksanakan prinsip fair and impartial trial.



*http://nasional.sindonews.com/read/2013/06/05/18/746429/memahami-uu-pencucian-uang-dan-akibat-hukumnya

Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

http://picasion.com/i/1USKG/
 
Support : Bang Eceng | Template | @Adhittia_Egha
Copyright © 2013. Suara Uncak Kapuas - All Rights Reserved
Dirancang Oleh Adhittia Egha Atau Bang Eceng