Rinjak,
warga Desa Sungai Uluk, Kecamatan Putussibau Selatan terlihat sumringah di suatu
pagi awal Juni tahun lalu. Pasalnya, hari itu ia memperoleh uang sebesar 20
juta dari penjualan sapi hasil kawin suntik miliknya. Harga itu adalah harga
sapi termahal yang pernah terjual di Kabupaten Kapuas Hulu. Padahal, usia sapi
betina yang di beri nama Limbal itu baru berumur 1,3 tahun.
“Sebenarnya
agak berat ketika menjualnya. Karena sapi itu berjenis kelamin betina. Sempat
saya canangkan menjadi indukan. Tapi ya sudah lah,” kenang Rinjak ketika itu.
Rinjak
mengaku mengenal kawin suntik sapi dari petugas Dinas Pertanian, Tanaman Pangan
dan Peternakan Kapuas Hulu. Petugas yang sering datang saat dimintanya
memeriksa sapi lokal lain miliknya memperkenalkan kawin suntik atau IB
(Inseminasi Buatan) untuk pengembangbiakan sapi. Tertarik, ia pun mempersiapkan
satu indukkan untuk menjadi calon akseptor IB. Petugas lalu melakukan proses
IB.
“Selama
proses IB, petugas terus mendampingi.
Mulai dari proses penyuntikkan, pemantauan kehamilan, melahirkan hingga proses
pembesaran. Selama proses itu berlangsung, petugas selalu siap mendampingi. Dipanggil
malam hari pun petugas selalu datang,” kata Rinjak.
Rinjak
juga mengutarakan, setelah sapi melahirkan, pada saat pemeliharaan tidak ada
kendala yang berarti. Sapi hasil IB berkembang dengan baik bahkan lebih cepat di
bandingkan sapi lokal lain miliknya. Namun diakui Rinjak, sapi hasil IB pola
makannya lebih kuat di banding sapi lokal.
“Makannya
lebih banyak. Tak mengherankan baru usia satu tahun lebih ukuran sapi IB
menyamai bahkan lebih dari sapi lokal berusia dua hingga tiga tahun,” katanya.
Atas
keberhasilan itu, Rinjak memiliki optimisme mengembangkan sapi melalui IB.
Selain lebih mudah dalam proses reproduksi, hasil yang di peroleh juga lebih maksimal. Nilai
ekonomis yang di dapat melebihi ekspektasi sebelumnya.
“Saya
merasa puas dan senang sehingga ini menjadi motivasi saya melanjutkan
pengembangbiakan sapi melalui pola IB,” ujar Rinjak.
Lain
cerita Rinjak, lain pula cerita Edi Suhardi peternak sapi lainnya yang juga
Ketua Kelompok Peternak Sapi Kedamin Kreatif. Saat ini Edi memiliki dua ekor
sapi betina hasil dari program IB. Usia sapi hasil IB itu yang satunya baru 2
bulan dan yang lain sudah 2,5 bulan.
“Ada
yang datang dan menawar hendak membeli salah satu sapi basil IB itu ketika umur
nya baru 1 bulan. Pembeli berani mengambil dengan harga Rp 5 juta. Saya tak mau
melepas karena akan di jadikan indukkan kelak,” kata Edi.
Edi
mengaku mengenal kawin suntik atau IB dari tahun 2008. Sedangkan ia bergelut
dengan ternak sapi sudah dari tahun 2007 atau setahun sebelumnya. Akan tetapi
ia baru melakukan IB pada indukan sapi miliknya di tahun 2011. Ada 3 ekor
indukan yang di IB namun hanya 2 yang berhasil. Sedangkan satu indukan meski
sudah di suntik hingga 6 kali tak juga membuahkan hasil.
“Indukkannya
kurang baik sehingga tak bisa bereproduksi,” ujarnya.
Dua
induk sapi yang berhasil di IB dipaparkan Edi hanya satu kali penyuntikkan dan langsung
bunting. Selama masa kehamilan hingga melahirkan, petugas selalu memberikan
arahan dan pendampingan. Ketika melahirkan pun petugas selalu berada di
peternakan miliknya. Sehingga dua induk sapi yang hamil anak sapi hasil IB itu
bisa melahirkan dengan baik.
“Dukungan
dari petugas dan dinas teknis sangat membantu kita peternak,” kata Edi.
Edi
mengaku tidak ada kendala dalam memelihara sapi hasil IB bahkan cenderung lebih
mudah dalam hal pakan. Hanya yang membedakan dengan sapi lokal dipaparkan Edi
sapi IB lebih kuat makan. Perbandingannya jika sapi lokal makan satu karung
rumput, maka sapi IB bisa dua karung hingga lebih. Namun konsumsi pakan sapi IB
itu berbanding lurus dengan perkembangannya. Sapi IB lebih cepat besar di
bandingkan sapi lokal yang ada.
“Jika
di jual sapi IB lebih tinggi harganya. Jadi secara ekonomis nilai tambahnya
besar,” tandas Edi.
Inseminasi
Buatan atau IB pada ternak sapi menjadi program unggulan Bidang Peternakan pada
Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kapuas Hulu. Hal itu dibenarkan Jasmin,
Kasi Bina Produksi dan Usaha Peternakan.
“IB
ini kita jadikan unggulan meningkatkan produksi sapi di Kapuas Hulu. Program
ini juga menjadi solusi keterbatasan sapi pejantan,” kata Jasmin.
Dipaparkan
Jasmin, IB baru di kenalkan pihaknya ke petani peternak dari tahun 2006. Ketika
itu baru pada tahapan sosialisasi dan mencari sapi betina yang siap untuk di
lakukan IB. Proses pencarian akseptor atau sapi induk yang siap di IB baru
diperoleh pada tahun 2007. Pun inseminasi dilakukan masih menggunakan sperma
sapi lokal jenis bali dan indukkan sapi yang sama. Dari 7 ekor sapi yang di
suntik, 5 berhasil hamil dan 2 gagal.
“Baru
di tahun 2009 melalui provinsi kita di kenalkan sperma sapi unggul jenis
Limosin. Hasilnya sudah ada yang sukses bahkan terjual dengan harga yang cukup
fantastis,” tambah Jasmin.
Diakui
Jasmin, melalui IB cukup membantu mengatasi kelangkaan pejantan. Selain itu
dengan IB ada kemudahan mendapatkan bibit unggul. Sehingga kualitas sapi yang
di hasilkan pun meningkat lebih baik. Dampak yang dirasakan petani adalah
secara ekonomis sapi hasil IB harganya tinggi. Dengan demikian petani bisa
mendapatkan pendapatan yang lebih besar dari beternak sapi.
“Bahkan
jika dihitung skala investasi sebenarnya menjanjikan. Andai saja Kapuas Hulu
satu tahun bisa memproduksi dan menjual 200 ekor sapi IB dengan harga rata-rata
Rp 8 juta per ekor. Maka satu tahun ada Rp 1,6 milyar uang yang diperoleh dari
program IB ini,” papar Jasmin.
Sebab
itu, dalam program IB pihaknya telah mengambil sejumlah langkah terkait
kesiapan sumber daya manusia, peralatan dan bibit untuk memberikan pelayanan
kepada petani peternak. Untuk pelayanan saat ini pihaknya telah memiliki satuan
pelayanan IB atau SP IB di lima lokasi. SP IB itu menaungi sejumlah kecamatan
diantaranya Putussibau Utara, Putussibau Selatan, Kalis, Bika, Bunut Hulu,
Boyan Tanjung dan Pengkadan. Masyarakat petani yang menginginkan induk sapi
mereka di IB dapat menghubungi petugas SP IB yang tersedia. Atas permintaan petani
peternak maka petugas melakukan pelayanan.
“Untuk
bibit gratis. Hanya jasa petugas saja yang dibebankan kepada petani peternak.
Untuk tahun ini kita alokasikan 300 straw bibit yang bersumber dari anggaran
daerah serta sharing provinsi. Bibit didatangkan dari PPIB di Singosari,
Malang, Provinsi Jawa Timur,” ujarnya.
Salah
satu faktor penentu keberhasilan IB adalah petugas pelayanan. Dikatakan Jasmin,
saat ini telah ada 5 petugas IB yang mengantongi izin atau sertifikat. Kemudian
ada 2 petugas pemeriksa kebuntingan (PKB) dan 1 orang asisten teknik reproduksi
atau ATR. Seluruh jenjang petugas yang ada ini memiliki peran penting dalam
keberhasilan IB. Ketika ada calon akseptor, maka proses penyuntikan dilakukan
oleh petugas IB. Begitu terjadi kehamilan maka petugas PKB yang melakukan
pemantauan dan pemeriksaan. Dari kehamilan hingga proses melahirkan yang
melakukan pemantauan dan pendampingan adalah petugas ATR.
“Kita
akan berusaha menaikkan jenjang PKB yang ada ke ATR. Agar sumber daya manusia
bidang IB ini lebih mantap lagi,” kata Jasmin.
Sementara
itu, Darmawan, salah satu inseminator sebutan bagi petugas IB menjelaskan bahwa
inseminasi buatan adalah teknik untuk memasukkan mani atau sperma yang telah dicairkan dan telah
diproses terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan ke dalam saluran alat
kelamin betina. Proses memasukkan sprema ini juga menggunakan metode khusus dan
alat khusus pula.
“Sebagai petugas kita
harus tahu seluruh rangkaian proses IB dengan baik. Jika tidak kemungkinan
gagal juga cukup besar,” kata Darmawan.
IB sendiri dikatakan Darmawan
memiliki tujuan memperbaiki mutu genetika ternak. Selain itu dalam proses perkawinan
sangat praktis karena tak harus menghadirkan sapi pejantan untuk dikawinkan dengan
sapi betina. Menggunakan IB diakui Darmawan sangat menguntungkan karena dapat
menghindari kecelakaan ketika perkawinan secara tradisional.
“Meski banyak
keuntungan, IB jika tak dilakukan dengan baik bisa membawa kerugian. Apabila identifikasi birahi
tidak tepat maka tidak akan terjadi terjadi kebuntingan. Kemudian
akan terjadi kesulitan kelahiran apabila sperma yang digunakan berasal
dari pejantan dengan turunan yang besar dibandingkan sapi betina keturunan
kecil,” katanya.
Namun
Darmawan mengakui di Kapuas Hulu sendiri sudah ada beberapa proses inseminasi
yang membuahkan hasil. Bahkan petani peternak sudah ada yang merasakan langsung
dampak dari program IB itu. Mendapatkan hasil yang lebih baik dari sapi lokal
yang sudah lama menjadi unggulan masyarakat petani untuk di ternakkan.
Muhammad
Ali, salah satu pedagang daging sapi di pasar tradisional kota Putussibau
mengakui jika permintaan akan daging sapi cukup besar. Nyaris tak pernah ada
daging yang tersisa ketika dirinya menggelar dagangannya.
“Pasti
habis laku terjual baik yang sudah di pesan pelanggan maupun yang di beli oleh
masyarakat umum,” aku Ali.
Ditambahkan
Ali, pelanggan yang membeli daging sapinya kebanyakan adalah pedagang bakso dan
pemilik usaha rumah makan. Tidak jarang ketika dirinya berjualan, pelanggan
dari pedagang bakso saja bisa menghabiskan 30 – 40 kg daging sapi. Ali mengaku
tak tiap hari membuka lapak dagangannya. Dalam seminggu hanya tidak kali saja
yaitu hari Selasa, Kamis dan hari Sabtu.
“Kita
menyesuaikan waktu permintaan pelanggan,” ujarnya.
Permintaan
daging itu dipaparkan Ali bisa meningkat pesat ketika ada moment hari
keagamaan. Seperti ketika perayaan idul fitri dan idul adha. Pengalamannya
pernah menjual hingga 300 kg daging dan memotong hingga 4 ekor sapi. Untuk
mendapatkan sapi yang siap dipotong warga Kedamin yang menetap di Sibau Hulu
ini berburu hingga ke daerah pedalaman. Meski demikian tidak sulit baginya
untuk mendapatkan sapi. Karena populasi sapi masih cukup banyak di tingkat
masyarakat.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !