Baco Maiwa SE |
Sebagai
lembaga pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia cerdas, kreatif, inovatif,
beriman, dan bertakwa. Tentu, dalam pelaksanaan proses belajar mengajar harus
dilaksanakan dengan sadar, penuh tanggungjawab, serta konsisten terhadap tujuan
yang sesuai dengan visi dan misi pendidikan nasional. Disamping itu pula harus
mengacu kepada sistem dan pedoman yang ada, sehingga siswa nantinya siap dan
matang dalam menghadapi ujian nasional.
Ujian
nasional (UN) perlu diadakan sebagai indikator atau alat ukur untuk mengetahui
mutu atau kualitas pendidikan di Indonesia. UN dilaksanakan sekali dan setahun
secara menyeluruh diseluruh Indonesia disetiap jenjang satuan pendidikan.
Disamping itu pula, UN menelan anggaran Negara tidak sedikit, miliaran bahkan
triliunan rupiah.
Detik-detik
UN sudah ada di depan mata. Gelar kelulusan yang menjadi idaman setiap siswa
nyaris dirindukan. Gelar kelulusan ternyata sangat indah, manis, dan menggoda
setiap siswa. Tanggal 15–18 April 2013
UN dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia untuk jenjang SMA/MA/SMK. Ini
merupakan momentum untuk menunjukan kemampuan setiap siswa terhadap materi
pelajaran yang dilaksanakan selama tiga tahun.
Kelulusan
merupakan proses perpindahan dari status
siswa ke mahasiswa atau proses yang menandakan telah menyelesaikan studi di
jenjang Sekolah Menegah Atas (SMA) yang sebelumnya bergelut selama tiga tahun.
Kaitanya dengan hal ini, kelulusan tidak didapat dengan begitu saja, semudah
membalikan telapak tangan. Kelulusahan harus ditempuh melalui UN yang standar
dan pelaksanaanya sudah ditetapkan oleh pemerintah. Jika siswa tersebut tidak
mampu memenuhi standar kompetensi kelulusan, dinyatakan tidak lulus. Begitu
juga sebaliknya, jika siswa tersebut mampu memenuhi standar kompetensi
kelulusan, maka siswa dinyatakan lulus.
Masalahnya
adalah apakah siswa mampu memenuhi standar
kompetensi kelulusan? jika diamati dari hasil UN dari tahun ke tahun
banyak siswa yang lulus dan melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Jadi,
dilihat dari hasilnya, dapat dikatakan siswa mampu menuhi standar kompetensi
kelususan tersebut. Terus bagaimana dalam pelaksanaanya? apakah siswa yang
lulus tersebut murni memiliki kemampuan menjawab soal-soal dalam UN tanpa
campur tangan guru-guru? Jawaban pertanyaan ini penulis serahkan kepada
pembaca. Penulis hanya memberikan gambaran. Jika jawannya ya. Maka, UN
merupakan indikator atau alat ukur yang tepat dalam menilai mutu dan kualitas
pendidikan di Indonesia. Dan jika jawabannya tidak. Maka, UN bukan merupakan
sebuah keniscayaan, melainkan sistem yang dapat membentuk “lingkaran setan”
atau “noda” di satuan-satuan pendidikan serta pemborosan anggran negara. Oleh
karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi kembali tentang pelaksanaan UN atau
mencari sistem lain yang lebih tepat, bermanfaat dan bermartabat.
Bagaimana
dengan hakekat evaluasi yang sesungguhnya? Banyak pendidik menilai bahwa UN
merupakan evalusi yang tidak adil bagi siswa khusnya dan kulitas pendidikan
pada umumnya. Tidak adil jika proses pendidikan yang dilaksanakan selama tiga
tahun dievaluasi hanya empat hari. Tidak adil jika mutu dan kualitas pendidikan
dinilai hanya pada aspek pengetahuan saja. Bagaimana dengan keterampilan dan
sikap? Sedangkan dalam evaluasi kualitas pendidikan itu harus mencakup tiga
aspek yakni pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Disamping,
seperangkat persoalan di atas, masalah yang lebih urgen adalah kesiapan siswa
sebagai aktor utama yang menghadapi UN, dalam hal ini berkaitan dengan kesiapan
mentalnya. Banyak siswa mengaku tidak siap dengan UN sehingga tidak heran
banyak siswa merasa takut, bimbang, resah, galau dll. Kenapa tidak? Meraka
dihadapkan dengan pilihan “tidak lulus”, jika ini terjadi maka siswa akan
dikucilkan, diremehkan, dan dipermalukan oleh teman-temannya. Untuk mengantisipasi permasalahan
diatas, berbagai persiapan telah dilakukan oleh pihak sekolah maupun para
siswa. Mulai dari persiapan akademis, psikologi maupun taktis. Bekal akademis
diberikan melalui penambahan jam belajar untuk mata pelajaran yang diujikan.
Bekal psikologis diinput melalui pendekatan training motivasi baik lewat
ceramah, kunjungan studi maupun lewat pendekatan agama. Nah, persiapan ketiga
adalah bekal taktis. Persiapan ini agak unik karena penuh dengan akal busuk dan
permainan kotor yang melibatkan guru.
Siapa yang tak sedih jika melihat
siswa binaannya tak lulus UN? Sekolah mana yang tak malu jika banyak siswanya
tak lulus UN? Yang jelas lagi kepala dinas pendidikan mana yang tidak galau
jika banyak siswa di daerahnya yang tidak lulus UN? Maka dilakukan
strategi-strategi penyelamatan secara sistematis. Suatu kali saya pernah
menanyakan kepada seorang kepala sekolah terkait tingkat kelulusan siswanya
tahun kemarin. Dengan agak diplomatis beliau menjawab, “semuanya diluluskan”.
Ada sedikit kejanggalan. Bukankah kelulusan tergantung pencapaian nilai
minimal? Bahasa yang digunakan sang Kepala Sekolah, “diluluskan” bukan “lulus”.
Artinya terdapat unsur pihak ketiga. Setelah dikejar, ternyata beliau mau
mengaku bahwa semuanya diluluskan dengan pertolongan guru-guru yang memberikan
jawaban soal saat ujian. Wah…
3 tahun di SMA belajar berbuat
jujur. Setiap mencontek dimarahi. Saat ulangan guru mengawasi agar tidak
mencontek. Saat UN, puncak dari segala puncak ujian, guru dengan sangat ‘baik
hati’-nya memberikan kunci jawaban. Seolah menyusui sambil menikam. Dilema
memang. Konsisten pada kejujuran di UN ini bisa jadi artinya sungguh berisiko.
Untuk murid, bisa jadi tidak lulus. Untuk guru, bisa jadi akan dimarahi kepala
sekolah, dimarahi kepala dinas dan yang lebih parah lagi dimarahi oleh orang
tua murid yang kalap serta tidak jarang membawa parang panjang ke sekolah ingin
menumpahkan kekesalahan dan kekecewaan kepada para penyelenggara sekolah,
bahkan ada kejadian siswa yang tidak lulus UN nekat membakar sekolah (tragis).
Untuk kepala sekolah dan pengawas sekolah, artinya mungkin dianggap tidak bisa
‘mengatur’. Untuk kepala UPTD pendidikan, mungkin artinya tak jadi naik
jabatan. Dan seterusnya.
Tiap daerah berlomba dapat nilai
bagus. Sayangnya perlombaan itu tak ditemani pemerataan kualitas pendidikan.
Indikatornya dari ketidakmerataan fasilitas pendidikan dan kualitas guru.
Menteri pendidikan membuat perlombaan. Gubernur, bupati, dinas pendidikan,
semua ingin turut serta. Di bawahnya ingin terlihat menyumbang kemenangan.
Jalan pintas pun dipilih.
Tapi mau bilang apa? Mereka semua korban.
Korban dari mata rantai perlombaan tahunan yang ending-nya selalu menyedihkan.
Anak-anak itu butuh mental yang sehat, yang tak tercemari ajaran berbuat
curang. Guru-guru itu perlu kenyamanan dalam mengajar; kenyamanan finansial dan
kenyamanan intelektual (pengetahuan yang cukup, kapasitas mengajar yang baik).
Selanjutnya lupakan pengawas sekolah yang mencari aman atau kepala UPTD dan
kepala dinas pendidikan yang tak punya visi pendidikan yang kuat.
Niat baik Departemen Nasional untuk
memberikan standar tertentu kepada para siswa akhirnya mental oleh jajarannya
sendiri. Unsur kepedulian berkelindan dengan motivasi menyelamatkan nama
sekolah telah mengaburkan originalitas dan moralitas akademis. Contek-menyontek
merupakan persoalan klasik dalam dunia pendidikan kita. Bahkan sampai ke
perguruan tinggi-pun masih ada. Guru yang seharusnya menjadi gerbang utama
untuk membasmi penyakit kronis ini, jika sudah melegalkan upaya pemberian
jawaban saat UN, maka akan dikemanakan pendidikan kita? Untuk maju memang dibutuhkan tamparan. Kadang tingginya tingkat
kelulusan menjadi resiko sebuah perubahan. Ruh suatu bangsa terletak pada
standar pendidikan. Jika mau maju maka kita harus menaikan terus menerus
standar itu.
Satu hal yang luput dari perhatian
kita adalah sejak standarisasi UN diberlakukan, semua sekolah melakukan
pembenahan. Siswa-siswi tak lagi malas-malasan belajar. Semuanya berpacu dan
beberapa dari mereka melejit dengan raihan prestasi-prestasi nasional maupun
internasional dalam olimpiade-olimpiade yang dilakukan secara berkala. UN telah
mendorong sekolah-sekolah untuk memperbaiki diri dan beberapa tahun terakhir
berhasil menembus nilai teratas dalam UN.
Dilema UN memang telah menimbulkan
pro dan kontra. Di satu sisi semakin meningkatkan semangat para siswa untuk
belajar, tapi di sisi lain semakin memassifkan kecurangan. Semua pihak memiliki
argumen masing-masing yang cukup bisa diterima. Pihak yang pro beralasan dengan
peningkatan kualitas pendidikan nasional, sedangkan pihak yang kontra beralasan
dengan rasionalisasi pengabaian proses 3 tahun lewat ujian yang hanya beberapa
hari.
Berangkat
dari beberapa masalah di atas, sudah menjadi tugas dan tanggungjawab seluruh
masyarakat pada umumnya dan pemerintah khususnya agar masalah-masalah tersebut
tidak berkepanjangan. Perlu dilakukan identifikasi secara tajam dan mendalam,
sehingga persoalan-persoalan tersebut dapat diatasi dengan baik. Mutu dan kualitas
pendidikan pun dapat dijamin substansinya; inilah
negeri-ku, apakabar negeri-mu..? (Wallahu’alam)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !