Suatu saat di bulan november....
Ia turun, dan para stafnya keheranan. Tak ada siapapun. Tak
ada kemeriahan apapun. Mereka akhirnya saling berbisik sementara lelaki tadi
berjalan dan mulai mengedarkan pandangannya ke seluruh area.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan
(Diperta) di wilayah Cimangkok, Sukabumi. Inilah tempat yang mendadak ia
kunjungi di sore ini. Areal yang cukup luas, sepi, nampak beberapa pohon yang
malas tegak, juga kelihatan ada kegiatan pembangunan yang terbengkalai.
Mendapati seorang pria kurus yang
tengah mencangkul disitu, ia pun mendekatinya. Membicarakan
beberapa hal dan sebagainya. Setelah terlihat mendapat kesimpulan dengan apa
yang terjadi di tempat ini, ia pun meminta ajudannya untuk menlepon. Rupanya
kepala dinas bersangkutan, dan pembicaraan pun berlanjut dengan staf yang kian
berbisik membayangkan mimpi apa orang yang ditelpon itu. Kena toel sang
Gubernur di sore mendung.
Setelah itu ia pun meluncur ke
sebuah pelosok kampung. Saya sebut kampung rasanya tak berlebihan. Karena
memang demikian nyatanya. Kolam ikan dan sawah di kiri-kanan jalan sempit.
Hawanya pun sejuk. Sampai di tujuan, ia pun agak berlari. Tak memperhatikan
seorang staf yang terbirit membawakan payung untuknya. Ya, sore itu langit
sukabumi hujan.
Ia pun sampai di depan sebuah rumah,
membuka pagar bambu khas desa-desa dan masuk. Rumah sederhana. Masih heran
dengan apa yang saya lihat, ia keluar lagi. "Mau masuk? tapi maaf
tempatnya memang agak sempit", ujarnya dengan sumringah. Sebelum sempat
menerka atas alasan apa ia nampak bahagia, akhirnya ia beri jawabnya: "di
rumah, keluarga lagi kumpul, gak apa-apa nunggu disni ya," katanya sambil
menunjukkan beberapa kursi di teras rumah.
Rumah yang sederhana. Saya
pikir jika pejabat pasti akan punya dinasti kecil. Setidaknya keluarganya
'terlindung' disana. Namun dilihat bagaimanapun ini rumah biasa. Terlalu biasa
malah. Di dalamnya tinggal nenek kesayangan seorang Ahmad Heryawan. Nenek
berusia 106 tahun yang setiap hari bisa melahap 3 juz Al Quran. Nenek yang
giginya masih bagus dan belum pikun. Begitu sering ia ceritakan dengan
bangganya.
Itulah pertama kali saya
beraktivitas panjang dengannya. Melihat sendiri orang seperti apa ia. Nyatanya
demikian. Tak rumit, responsif, dan saya merasa sedang tak bekerja pada atasan.
Biar usia saya tak berbeda jauh dengan putra pertamanya, dari cara berinteraksi
saya merasa seperti rekan setara saja. Padahal jauh. Jauuuuuh sekali
posinya. Saya cuma peliput lepas. Ia seorang Gubernur, pemangku kekuasaan
tertinggi di provinsi yang kepadatannya sudah seperlima Indonesia.
Tak rumit. Pakaiannya paling atasan batik atau
kemeja polos dengan celana bahan warna hitam. Jika tiba waktu shalat, dimana
bertemu mesjid, rangkaian mobil pun berhenti. Mushalla kecil sampai Mesjid
besar. Terurus atau tidak, tak masalah. Suatu kali bahkan pernah di acara
Gubernur Saba Desa di sebuah daerah di majalengka. Aparat kecamatan dan desa
setempat sempat heboh saat Gubernur hendak shalat. Pasalnya, mushalla itu sempit,
gelap, dan (maaf) nampak tak terurus. "Gak apa-apa, gak apa-apa, shalat
disini saja." Ujarnya santai saat beberapa orang menawarinya shalat di
area kantor, yang lebih nyaman.
Ia responsif. Saya salut. Sering saya perhatikan
dalam diskusi dan audiensi-audiensi. Bila ada yang mengeluhkan sesuatu
persoalan, wajahnya lantas memurung. Nampak berpikir keras. Seperti sedang
bertanya-tanya, apa yang salah? dimana letak persoalannya? Bagaimana
memecahkannya?
Ia juga aktif menjalin relasi dengan perusahaan. Mengincar
(dalam artian positif) kantong-kantong CSR (Corporate Social Responsibility).
Dari situlah salah satunya, ia bisa menggenjot pembangunan RKB (Ruang Kelas
Baru) terbanyak sepanjang sejarah Jabar.
Saya perhatikan, lewat bantuan
twitter di akun @aheryawan ia sering
mendapat masukan dan informasi. Pernah suatu saat di daerah garut heboh berita
kelaparan di suatu kampung. Berita membesar dan memancing banyak hujatan
gugatan. Ia pun mengirim 10 ton beras ke daerah bersangkutan. Ketika sampai, ternyata
yang disebut kelaparan, hanya dua rumah bukan sekampung yang heboh diberitakan.
Mereka makan nasi aking. Petugas pemprov yang sampai di lokasi kebingungan, mau
diapakan beras sebanyak itu? Namun instruksi dari sang pimpinan sederhana:
"Bagikan saja di kampung itu."
Ini hanya sekilas. Barangkali bila
diteruskan, bisa jadi tulisan yang tak karuan, hehe. Mudah-mudahan yang
disampaikan proporsional. Tak dilebih-lebihkan. Allah-lah yang lebih tahu apa
yang berkelumit di hati hamba-hambaNya. Bila ada yang baik moga bisa jadi
contoh dan jadi bagian diri. Bila ada yang salah, hanya pada Allah kita
berlindung dan memohon petunjuk.[]
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !