Oleh : Belqis S. Si*
Kurikulum... a new stuff that i heard in my previous year. Awalnya saya tidak mengerti dengan yang
namanya kurikulum karena basik pendidikan saya bukan
dari kependidikan. Saya pun mulai bergelut dengan dunia pendidikan saat
tergabung dalam Gerakan Indonesia Mengajar sebagai Pengajar Muda 2 yang
bertugas di Desa Teluk Aur, Kecamatan Bunut Hilir, satu tahun yang lalu.
Yang saya tahu tentang kurikulum hanya sebatas apa yang pernah saya rasakan
sebagai pelaku kegiatan pendidikan. Mulai dari kurikulum CBSA, kurikulum
berbasis kompetensi, sampai yang terakhir kurikulum KTSP (KaTeSiaPe???)
ditambah lagi adanya hot issue tentang
perubahan kurikulum lagi di Indonesia.
Kok
dengan mudah kurikulum itu bisa berubah? Sebenarnya, tujuan perubahan kurikulum
itu apa sih? So many questions that
always linger on my mind. Based on my (own) experience. Kurikulum
yang ada selama ini hanya bisa diterapkan di sekolah-sekolah yang memiliki
fasilitas dan SDM yang baik. Ya, karena keberhasilan kurikulum ditentukan oleh
kerja sama tim, sekolah dan siwa, secara holistik, tidak bisa dipisahkan.
Seperti contoh, ketika saya masih SMA, kurikulum yang digunakan pada masa itu
(2003-2006) adalah kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Beberapa buku diktat
menggunakan 2 bahasa (bilingual) dan jangan salah, SMA saya adalah SMA favorit
se-jombang dengan kualitas input siswanya yang tidak diragukan lagi. Tapi
bahkan di sekolah ini kurikulum KBK pun dinilai kurang berhasil
diterapkan karena hanya sebagian guru yang menguasai bahasa inggris aktif dan
metode mengajar mereka masih satu arah, masih tempo doeloe. Ditambah lagi terjadi protes di beberapa daerah yang menilai
kurikulum ini hanya bisa diterapkan di Jawa yang "semua ada" dan
tidak bisa diterapkan di daerah yang lain. Jadilah, kurikulum KBK diganti lagi
dengan KTSP. KTSP dinilai sangat sesuai ditempatkan di mana saja karena
kontennya dibuat sendiri oleh tim KKG di masing-masing daerah. Pemerintah
hanya memberikan panduan tentang SK-KD nya saja. Sebenarnya kurikulum ini sudah
sesuai dengan keadaan Indonesia yang majemuk.
Tetapi
lagi-lagi kurikulum ini dinilai tidak
berhasil juga karena dinilai “memaksa” siswa dengan beban materi yang terlalu
banyak.
Sedikit
opini yang ingin saya share tentang perubahan-perubahan kurikulum itu. pertama, IMHO kalaupun kurikulum harus berubah,
maka seharusnya beban siswa menjadi semakin berkurang. Saya ingat ketika masih
SMA, ke sekolah dengan tas ransel besar ala astronot, dan masih membawa tas
tenteng yang isinya buku-buku diktat karena jumlah mata pelajaran yang mencapai
12 jam pelajaran/hari. Setiap pulang kecapekan karena masih ada
ekstrakurikuler, les, dan lain-lain. Saya juga ingat ketika
mendapat remidi sejarah kelas 1 SMA, tentang manusia purba, saat itu saya
bertanya-tanya, kenapa harus ada judul manusia purba? ciri-ciri manusia purba?
karena sampai sekarang topik itu tidak pernah di bahas lagi. Seperti juga
sebuah indikator mata pelajaran PKN kelas 4 SD yang berbunyi
"Menjabarkan lembaga-lembaga negara dalam
susunan pemerintahan pusat seperti MPR, DPR, DPD, presiden,
MA, MK, Komisi Yudisial, dan kejaksaan " yang baru saya tahu bahwa itu adalah salah
satu mata kuliah untuk magister hukum , dan bagaimana anak-anak sedini itu bisa
mencernanya? Seyogyanya kurikulum itu diciptakan agar anak bisa dengan leluasa
menentukan apa yang menjadi minatnya, bebas mengembangkan potensi dirinya,
tanpa terbebani oleh materi-materi yang di kemudian hari tidak digunakan lagi.
Bayangkan jika pak habibie tidak jadi berangkat ke Jerman hanya karena nilai
sejarahnya jelek?
Kedua, hendaknya perubahan
kurikulum dibarengi dengan peningkatan kualitas guru dan fasilitas mengajar.
Kalau kita lihat, perubahan kurikulum sudah sering dilakukan namun tidak
disertai dengan peningkatan kualitas guru, baik dari metode mengajar, kemampuan
bahasa, dan kreativitas mereka. Hasilnya, walaupun kurikulum berubah seribu
kali, buku diktat ratusan banyaknya, namun pengetahuan yang ditransfer pun sama
saja dari jaman baheula. Hal
yang sama juga bergantung pada keberadaan fasilitas mengajar. Menurut saya,
fasilitas mengajar jangan hanya diorientasikan untuk pembangunan fisik sekolah
saja. Pembangunan fisik itu penting namun pengembangan SDM itu lebih penting.
Jika SDM pengajarnya sudah bagus, maka belajar bisa dilakukan di mana saja.
Buku adalah yang utama, ensiklopedia, kamus, majalah, berbagai sumber
informasi, syukur-syukur kalau sekolah bersedia memberi akses untuk belajar
langsung ke sasaran (praktek), misal dengan mengajak anak-anak langsung turun
ke pasar untuk mempraktekkan prinsip ekonomi, mengajak mereka membuat project
sains tentang ekosistem, dll. It will be interesting and stay longer because they learn directly.
Ketiga, perubahan kurikulum
hendaknya bersifat global dan berjiwa Indonesia. Artinya perubahan kurikulum
harus mempersiapkan anak-anak menghadapi tantangan di masa depan, baik dari
segi bahasa (terutama), hot issues tentang perkembangan dunia, pengayaan skill,dll.
Kalau perlu anak-anak diwajibkan menguasai 3 bahasa asing ketika mereka duduk
di bangku SMA. Semua itu untuk mempersiapkan mereka menghadapi
tantangan-tantangan di masa depan. Jangan sampai di masa depan anak-anak kita
merasa tidak siap dengan tantangan itu dan berkata “kenapa kami tidak pernah
diajarkan? Kenapa kami tidak dipersiapkan?” Bisa jadi mereka akan kalah saing
sebelum bertanding. Sedangkan berjiwa Indonesia artinya, kurikulum yang ada
tidak menghilangkan karakter ke-Indonesiaan kita terutama dari unsur budaya dan
etika. Jadi bahasa daerah tetap diperlukan, tari-tarian, dan nyanyian daerah
juga. Karena Indonesia itu adalah cerminan perilaku budaya kita.
Jadi,
setelah bercakap panjang lebar mengenai kurikulum, bagaimana selanjutnya
tindakan "ancang-ancang" kita sebagai (calon) orang tua? Menurutku,
orang tua perlu memperhatikan kualitas sekolah terlebih dahulu sebelum
mempercayakan anaknya untuk belajar di sana. Sekolah yang baik tidak dilihat
dari akreditasinya, kemegahan gedungnya, tetapi dari seberapa seringnya sekolah
tersebut mengadakan pelatihan guru. Karena keberhasilan sekolah bukan dinilai
dari tingginya nilai UAS yang bisa diraih oleh siswanya tetapi dari sejauh mana
mereka mampu memfasilitasi dan menciptakan progress/impact yang tinggi selama
siswa belajar di sana. Dan harap tidak melupakan satu hal bahwa sekolah yang
baik menerapkan pendidikan yang berbasis moral (akhlak), itu tercermin dari
behaviour dan kinerja guru-gurunya.
*Guru SDN 06 Teluk Aur dan SMPN 04 Satap Bunut Hilir tahun
2011-2012
Pengajar
Muda angkatan 2 Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !