Headlines News :
http://picasion.com/i/1URpX/
http://picasion.com/i/1UScV/
Home » , » Perubahan Kurikulum Tak Jadi Beban

Perubahan Kurikulum Tak Jadi Beban

On Wednesday, February 20, 2013 | 11:58 AM


Oleh : Belqis S. Si*

Kurikulum...  a new stuff that i heard in my previous year.  Awalnya saya tidak mengerti dengan yang namanya kurikulum karena basik pendidikan saya bukan dari kependidikan. Saya pun mulai bergelut dengan dunia pendidikan saat tergabung dalam Gerakan Indonesia Mengajar sebagai Pengajar  Muda 2 yang  bertugas di Desa Teluk Aur, Kecamatan Bunut Hilir, satu tahun yang lalu. Yang saya tahu tentang kurikulum hanya sebatas apa yang pernah saya rasakan sebagai pelaku kegiatan pendidikan. Mulai dari kurikulum CBSA, kurikulum berbasis kompetensi, sampai yang terakhir kurikulum KTSP (KaTeSiaPe???) ditambah lagi adanya hot issue tentang  perubahan kurikulum lagi di Indonesia.

Kok dengan mudah kurikulum itu bisa berubah? Sebenarnya, tujuan perubahan kurikulum itu apa sih? So many questions that always linger on my mind. Based on my (own) experience. Kurikulum yang ada selama ini hanya bisa diterapkan di sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas dan SDM yang baik. Ya, karena keberhasilan kurikulum ditentukan oleh kerja sama tim, sekolah dan siwa, secara holistik, tidak bisa dipisahkan. Seperti contoh, ketika saya masih SMA, kurikulum yang digunakan pada masa itu (2003-2006) adalah kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Beberapa buku diktat menggunakan 2 bahasa (bilingual) dan jangan salah, SMA saya adalah SMA favorit se-jombang dengan kualitas input siswanya yang tidak diragukan lagi. Tapi bahkan di sekolah ini kurikulum KBK pun dinilai kurang berhasil diterapkan karena hanya sebagian guru yang menguasai bahasa inggris aktif dan metode mengajar mereka masih satu arah, masih tempo doeloe. Ditambah lagi terjadi protes di beberapa daerah yang menilai kurikulum ini hanya bisa diterapkan di Jawa yang "semua ada" dan tidak bisa diterapkan di daerah yang lain. Jadilah, kurikulum KBK diganti lagi dengan KTSP. KTSP dinilai sangat sesuai ditempatkan di mana saja karena kontennya dibuat sendiri oleh tim KKG di masing-masing daerah. Pemerintah hanya memberikan panduan tentang SK-KD nya saja. Sebenarnya kurikulum ini sudah sesuai dengan keadaan Indonesia yang majemuk. Tetapi lagi-lagi  kurikulum ini dinilai tidak berhasil juga karena dinilai “memaksa” siswa dengan beban materi yang terlalu banyak.
Sedikit opini yang ingin saya share tentang perubahan-perubahan kurikulum itu. pertama, IMHO kalaupun kurikulum harus berubah, maka seharusnya beban siswa menjadi semakin berkurang. Saya ingat ketika masih SMA, ke sekolah dengan tas ransel besar ala astronot, dan masih membawa tas tenteng yang isinya buku-buku diktat karena jumlah mata pelajaran yang mencapai 12 jam pelajaran/hari. Setiap pulang kecapekan karena masih ada ekstrakurikuler, les, dan lain-lain. Saya juga ingat ketika mendapat remidi sejarah kelas 1 SMA, tentang manusia purba, saat itu saya bertanya-tanya, kenapa harus ada judul manusia purba? ciri-ciri manusia purba? karena sampai sekarang topik itu tidak pernah di bahas lagi. Seperti juga sebuah indikator mata pelajaran PKN kelas 4 SD yang berbunyi "Menjabarkan lembaga-lembaga negara dalam susunan pemerintahan pusat seperti MPR, DPR, DPD, presiden, MA, MK, Komisi Yudisial, dan kejaksaan  " yang baru saya tahu bahwa itu adalah salah satu mata kuliah untuk magister hukum , dan bagaimana anak-anak sedini itu bisa mencernanya? Seyogyanya kurikulum itu diciptakan agar anak bisa dengan leluasa menentukan apa yang menjadi minatnya, bebas mengembangkan potensi dirinya, tanpa terbebani oleh materi-materi yang di kemudian hari tidak digunakan lagi. Bayangkan jika pak habibie tidak jadi berangkat ke Jerman hanya karena nilai sejarahnya jelek?
Kedua, hendaknya perubahan kurikulum dibarengi dengan peningkatan kualitas guru dan fasilitas mengajar. Kalau kita lihat, perubahan kurikulum sudah sering dilakukan namun tidak disertai dengan peningkatan kualitas guru, baik dari metode mengajar, kemampuan bahasa, dan kreativitas mereka. Hasilnya, walaupun kurikulum berubah seribu kali, buku diktat ratusan banyaknya, namun pengetahuan yang ditransfer pun sama saja dari jaman baheula.  Hal yang sama juga bergantung pada keberadaan fasilitas mengajar. Menurut saya, fasilitas mengajar jangan hanya diorientasikan untuk pembangunan fisik sekolah saja. Pembangunan fisik itu penting namun pengembangan SDM itu lebih penting. Jika SDM pengajarnya sudah bagus, maka belajar bisa dilakukan di mana saja. Buku adalah yang utama, ensiklopedia, kamus, majalah, berbagai sumber informasi, syukur-syukur kalau sekolah bersedia memberi akses untuk belajar langsung ke sasaran (praktek), misal dengan mengajak anak-anak langsung turun ke pasar untuk mempraktekkan prinsip ekonomi, mengajak mereka membuat project sains tentang ekosistem, dll. It will be interesting and stay longer because they learn directly.
Ketiga, perubahan kurikulum hendaknya bersifat global dan berjiwa Indonesia. Artinya perubahan kurikulum harus mempersiapkan anak-anak menghadapi tantangan di masa depan, baik dari segi bahasa (terutama), hot issues tentang perkembangan dunia, pengayaan skill,dll. Kalau perlu anak-anak diwajibkan menguasai 3 bahasa asing ketika mereka duduk di bangku SMA.  Semua itu untuk  mempersiapkan mereka menghadapi tantangan-tantangan di masa depan. Jangan sampai di masa depan anak-anak kita merasa tidak siap dengan tantangan itu dan berkata “kenapa kami tidak pernah diajarkan? Kenapa kami tidak dipersiapkan?” Bisa jadi mereka akan kalah saing sebelum bertanding. Sedangkan berjiwa Indonesia artinya, kurikulum yang ada tidak menghilangkan karakter ke-Indonesiaan kita terutama dari unsur budaya dan etika. Jadi bahasa daerah tetap diperlukan, tari-tarian, dan nyanyian daerah juga. Karena Indonesia itu adalah cerminan perilaku budaya kita.
Jadi, setelah bercakap panjang lebar mengenai kurikulum, bagaimana selanjutnya tindakan "ancang-ancang" kita sebagai (calon) orang tua? Menurutku, orang tua perlu memperhatikan kualitas sekolah terlebih dahulu sebelum mempercayakan anaknya untuk belajar di sana. Sekolah yang baik tidak dilihat dari akreditasinya, kemegahan gedungnya, tetapi dari seberapa seringnya sekolah tersebut mengadakan pelatihan guru. Karena keberhasilan sekolah bukan dinilai dari tingginya nilai UAS yang bisa diraih oleh siswanya tetapi dari sejauh mana mereka mampu memfasilitasi dan menciptakan progress/impact yang tinggi selama siswa belajar di sana. Dan harap tidak melupakan satu hal bahwa sekolah yang baik menerapkan pendidikan yang berbasis moral (akhlak), itu tercermin dari behaviour dan kinerja guru-gurunya.
*Guru SDN 06 Teluk Aur dan SMPN 04 Satap Bunut Hilir tahun 2011-2012
  Pengajar Muda angkatan 2 Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar


Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

http://picasion.com/i/1USKG/
 
Support : Bang Eceng | Template | @Adhittia_Egha
Copyright © 2013. Suara Uncak Kapuas - All Rights Reserved
Dirancang Oleh Adhittia Egha Atau Bang Eceng