VIVAnews - Mayoritas rakyat Iran dan banyak
negara di dunia menyambut baik terpilihnya Hassan Rohani setelah menang pada
Pemilu Presiden akhir pekan lalu. Menang mutlak pada putaran pertama, Rohani
dikenal sebagai tokoh yang moderat dan tidak segarang Presiden Mahmoud
Ahmadinejad, yang akan dia gantikan pada Agustus mendatang.
Amerika Serikat, yang selama ini bermusuhan dengan Iran, secara implisit
menyambut baik kemenangan Rohani. Washington menyebut ulama Syiah dan mantan
negosiator nuklir berusia 64 tahun itu sebagai "pertanda harapan yang
potensial" dalam penyelesaian krisis kepemilikan senjata nuklir Iran, yang
selama ini dipersoalkan AS dan negara-negara lain.
"Bila [Rohani] berkesadaran mematuhi resolusi-resolusi di bawah Dewan
Keamanan PBB untuk membereskan program nuklir terlarang itu, dia bisa bermitra
dengan kami," kata Kepala Staf Kantor Kepresidenan AS, Denis McDonough,
kepada stasiun berita CBS News dan juga dikutip BBC.
Ada pula kalangan pengamat yang optimitis bahwa terpilihnya Rohani sebagai
presiden baru Iran bisa membawa perubahan yang baik bagi keamanan di Timur
Tengah, yang selain masalah nuklir juga tengah tegang dengan krisis di Suriah,
Palestina, dan lain-lain.
Namun tidak semua negara yang menyambut baik kemenangan Rohani. Sebagai musuh
utama Iran, Israel masih skeptis. Padahal tinggi redahnya derajat permusuhan
Iran dan Israel sangat menentukan keamanan di Timur Tengah.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, rupanya tidak mau langsung
ikut-ikut berharap seperti sekutunya, AS, dalam hasil Pemilu yang dimenangkan
kandidat moderat seperti Rohani. Kalangan politisi Israel masih curiga bahwa
Iran tetap membuat senjata nuklir, yang akan diarahkan ke negara zionis itu,
walau semoderat apapun pemimpinnya nanti.
Dalam rapat kabinet rutin Minggu kemarin, Netanyahu berpesan kepada para
menteri dan publik serta masyarakat dunia agar jangan senang dulu dengan
perkembangan di Iran. "Jangan dulu terlena. Komunitas internasional jangan
langsung berpikiran yang mengawang-awang," kata Netanyahu seperti dikutip
Yedioth Ahronoth edisi daring.
Dia mengingatkan bahwa penentu kebijakan-kebijakan penting Iran, termasuk soal
program nuklir mereka, adalah bukan pada presidennya, tapi kepada Pemimpin
Spiritual sebagai otoritas politik tertinggi di negeri Syiah itu.
"Kita harus ingat bahwa dalam kondisi apapun, [Pemimpin Spiritual
Ayatullah Ali Khamenei merupakan pihak yang menentukan kebijakan nuklir,"
kata Netanyahu. Sejak Revolusi 1979, Pemimpin Spiritual bergelar Ayatullah
menentukan semua keputusan penting bagi Iran, termasuk isu keamanan. Ini
melingkupi program nuklir, urusan pertahanan dan luar negeri.
Keputusan yang diambil Ayatullah sebelumnya mendapat pertimbangan dari dewan
mullah dan didukung oleh kekuatan militer elit Iran, yaitu Garda Revolusi.
Ayatullah juga yang bisa menentukan siapa yang layak jadi kandidat pemilu
Presiden.
Dengan kata lain, kemenangan Rohani tidak mutlak ditentukan mayoritas rakyat
Iran, namun juga sebagian berkat hasil seleksi Ayatullah dan para
penasihatnya. "Kita harus ingat bahwa pemimpin spiritual Iran itu
telah mendiskualifikasi beberapa kandidat yang tidak sejalan dengan
pandangan-pandangan radikalnya.
Dari sejumlah kandidat yang diperbolehkan [mencalonkan diri] adalah yang
terlihat paling kurang berhubungan dengan rezim yang terpilih sebelumnya. Kita
pun masih berurusan dengan pihak yang merujuk Negara Israel sebagai 'Setan
Zionis besar,'" kata Netanyahu.
Dia lalu menyarankan bahwa, walau akan diperintah presiden baru beraliran
moderat, Iran harus terus diganjar berbagai sanksi. Ini penting agar bisa
menekan Tehran untuk mengakhiri program nuklirnya, yang dicurigai bisa diolah
menjadi bom atom. Itulah kepentingan utama Israel atas Iran saat ini.
Politisi lain, Uzi Landau, melontarkan pernyataan senada dengan Netanyahu. Menteri
Pariwisata itu mengingatkan bahwa terpilihnya tokoh yang dipandang moderat pada
Pemilu Iran itu bisa mempersulit upaya meyakinkan dunia akan maksud nyata Iran
terkait program nuklirnya.
"Kita harus berbuat apapun sehingga Iran, walau bakal bertindak
seolah-olah moderat, tidak berupaya membuat bom. Saya harap negara-negara Barat
tidak akan mudah tertipu atau jadi kurang waspada terkait hasil pemilu
itu," lanjut Landau, yang pernah jadi Menteri Keamanan Dalam Negeri
Israel, seperti dikutip Ynet News.
Namun ada pula kalangan pemimpin Israel yang juga menaruh harapan kepada
kemenangan Rohani. Presiden Israel, Shimon Peres, berharap adanya perubahan
dalam stabilitas di Timur Tengah saat Rohani memimpin. Tidak seperti
Ahmadinejad yang sering melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial,
seperti menghapus Israel dari Peta Dunia.
"Dia [Rohani] bilang tidak akan membuat kebijakan-kebijakan ekstrem. Saya
tidak yakin dia telah menjelaskan kebijakan-kebijakannya secara rinci. Namun,
saya yakin, [situasi] akan lebih baik dan itulah mengapa rakyat memilih
dia," kata Peres seperti dikutip BB. Walau sebagai kepala negara, tidak
seperti PM Netanyahu, Peres tidak berwenang membuat kebijakan-kebijakan
strategis Israel.
Mantan
Negosiator
Menurut kantor berita Reuters,
Rohani pernah menjadi juru runding Iran untuk masalah nuklir selama 2003-2005.
Dia terang-terangan mengritik Presiden Ahmadinejad yang menggunakan pendekatan
konfrontatif dalam menghadapi negara-negara Barat.
Namun, bukan berarti Rohani menolak pengolahan teknologi nuklir di negaranya.
Dalam suatu artikel karya Chen Kane dari Universitas Brandeis pada 2006, Rohani
pernah menjelaskan bahwa Iran harus berkembang sebaik-baiknya dalam hal
teknologi agar berhasil membuat nuklir.
"Bila suatu hari kami mampu menuntaskan pengolahan siklus bahan bakar dan
dunia melihat bahwa kami sudah tidak punya pilihan lagi dan harus memiliki
teknologinya, maka situasinya akan berubah," kata Rohani seperti dikutip
Kane.
Hossein Mousavian, yang juga mantan juru runding Iran untuk isu nuklir, melihat
kemenangan Rohani pada Pemilu Presiden ini bisa berdampak baik dalam upaya
menyelesaikan ketegangan dengan negara-negara Barat karena bisa membuka era
baru kerjasama ketimbang konfrontasi dan mencapai solusi yang damai soal
kepemilikan nuklir di negaranya.
Namun, seperti yang diutarakan PM Israel, kalangan pengamat menilai bahwa kunci
menyelesaikan masalah nuklir di meja perundingan bukan pada presiden baru Iran,
namun pada Ayatullah Ali Khamenei sebagai pemimpin spiritual. Solusi itu tampak
sulit dicapai selama Khamenei masih enggan berkompromi dengan AS.
Pandangan itulah yang dikemukakan Karim Sadjadpour, pakar isu Iran-Amerika dari
Carnegie, seperti dikutip Reuters. "Pihak yang ingin kesepakatan tidak
bisa menyampaikannya, dan mereka yang bisa menyampaikannya malah tidak ingin
bersepakat," kata Sadjadpour. (Viv)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !