Pembentukan opini publik via pers bebas dalam perkara
tipikor saat ini telah melampaui batas kepatutan dan kesusilaan. (Prof Romli
Atmasasmita)
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)
Keberadaan UU Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) sejak pertama sampai pada
perubahan kedua pada tahun 2010 dilandaskan pada beberapa pertimbangan.
Pertama, dalam aktivitas organisasi
kejahatan di beberapa negara, terutama yang bergerak dalam kejahatan serius
seperti narkotika, perbankan, pasar modal dan perdagangan manusia serta senjata
api, mereka telah terbiasa menempatkan, menyamarkan atau menghibahkan hasil
kejahatan tersebut. Hasil kejahatan dipandang sebagai “darah segar” organisasi
kejahatan tersebut.
Kedua, perlu ada perubahan strategi
baru dalam menumpas kejahatan serius melalui menelusuri aliran dana hasil
kejahatan sehingga diharapkan seluruh kaki tangan organisasi kejahatan dan
orang yang terlibat ikut menikmati hasil kejahatan dapat diungkap tuntas.
Ketiga, keberadaan UU TPPU bertujuan menciptakan ketahanan pada diri setiap
orang agar waspada dan berhati- hati melakukan transaksi apa pun, termasuk
menerima uang yang tidak jelas asal usul uang tersebut (preventif).
Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU
TPPU 2010 dinyatakan bahwa sepanjang penerima dana tidak mengetahui bahwa dana
yang diterima berasal dari transaksi yang melanggar hukum dan tidak terbukti
ada keinginan dan tujuan untuk memperoleh dan menikmati dana tersebut, penerima
tidak dapat didakwa perbuatan pencucian uang (pasif).
Tujuan awal UU TPPU adalah menghentikan
kehidupan organisasi kejahatan dengan merampas harta kekayaan yang berasal atau
dinikmati dari kejahatan dengan praduga bahwa setiap harta kekayaan yang diduga
berasal dari tindak pidana adalah tidak seharusnya dikuasai atau dinikmati oleh
orang yang bersangkutan.
Berdasarkan tujuan tersebut,
strategi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang bersandar pada praduga
bersalah (presumption of guilt) sehingga pemilik harta kekayaan yang diduga
berasal dari tindak pidana diwajibkan membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan
berasal dari tindak pidana. Strategi ini berbeda dengan strategi umum yang
berlaku dalam tindak pidana lain seperti korupsi di mana tujuan penghukuman
adalah tujuan utama membuktikan kesalahan terdakwa dengan bersandar pada praduga
tak bersalah (presumption of innocence).
Secara teoretis pembuktian terbalik
untuk asal usul harta kekayaan dilandaskan pada balanced probability principle.
Pendekatan ini membedakan sekaligus menyeimbangkan prinsip praduga tak bersalah
terhadap perbuatan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dan prinsip
praduga bersalah terhadap harta kekayaan seseorang yang diduga berasal dari
tindak pidana.
Kedua prinsip hukum tersebut tidak
boleh digabungkan karena jika langkah hukum tersebut dilakukan melanggar
prinsip ne bis in idem dan prinsip non-self incrimination; dan jika prosedur
pembuktian tersebut dilaksanakan, langkah hukum tersebut cacat hukum dan dapat
dibatalkan.
Jika penyidik mengubah strategi
pembuktian semula hendak membuktikan kesalahan seseorang yang diduga melakukan
tindak pidana kemudian menggunakan strategi pembuktian atas harta kekayaan
pelaku yang diduga diperoleh dari tindak pidana, menurut teori di atas
pembuktian harta kekayaan tidak dapat digunakan sebagai pembuktian pada perkara
tindak pidana asal (predicate crime).
Rambu-rambu pembatas wewenang
penyidik dan penuntut khusus KPK tercantum dalam Pasal 63 UU KPK yang
memberikan sarana hukum untuk mengajukan keberatan dan gugatan kompensasi atau
rehabilitasi melalui pengadilan tipikor dan sekaligus upaya hukum praperadilan.
Dalam hal penyidik dan penuntut
menggeser pembuktian pada dugaan tindak pidana pencucian uang, rambu-rambu
pembatas tercantum dalam Pasal 11 UU TPPU yang melarang penjabat PPATK,
penyidik, penuntut, dan hakim memberikan informasi indikasi pencucian uang
kepada publik dan pelanggaran terhadap larangan tersebut diancam dengan pidana
paling lama empat tahun penjara.
Rambu pembatas lain khususnya
terhadap hakim dalam perkara tipikor dan perkara TPPU tercantum dalam Pasal 19
UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang mengamanatkan prinsip kehati-hatian terhadap
hakim dalam memutus dan merampas harta kekayaan yang berasal dari tipikor
karena di dalam ketentuan tersebut diberikan hak kepada pihak yang beriktikad
baik untuk mengajukan gugatan keberatan ke pengadilan tipikor.
Keberadaan UU Tipikor dan UU TPPU
dalam sistem hukum pidana Indonesia menjadi rambu-rambu pembatas kewenangan
dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan. Karena
penyusun kedua UU tersebut telah berpegang pada prinsip proporsionalitas dan
subsidiaritas (J.Remmelink) dengan harapan penyidik, penuntut, dan hakim
menggunakan kewenangannya dengan teliti berdasarkan prinsip kehati- hatian.
Dengan demikian nantinya tidak
mengakibatkan kontraproduktif baik terhadap pelaku maupun korban khususnya dan
iklim kehidupan masyarakat pada umumnya. Dalam praktik penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan pengadilan tipikor, tampak praktik hukum yang masih
memperlihatkan kecerobohan dan kesewenang-wenangan.
Pertama, kebiasaan penyusunan surat dakwaan yang mencantumkan status
terdakwa dalam konteks penerapan Pasal 55 KUHP tanpa terlebih dulu penetapan
sebagai tersangka bahkan tidak pernah diperiksa sebagai tersangka. Cara ini
jelas merupakan pelanggaran hak asasi yang bersangkutan dan potensial digugat
ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH).
Kedua, konten hasil BAP yang tersebar luas di majalah dan koran
tertentu yang melanggar prinsip praduga tak bersalah dan sekaligus melanggar
ketentuan UU TPPU sebagai lex specialis dalam sistem hukum pidana Indonesia.
Ketiga, pembentukan opini publik via
pers bebas dalam perkara tipikor saat ini telah melampaui batas kepatutan dan
kesusilaan. Karena
dikesankan seseorang tersangka kasus korupsi secara sosial telah dianggap
bersalah dan dalam keadaan sedemikian sangat sulit bagi pengadilan untuk
melaksanakan prinsip fair and impartial trial.
*http://nasional.sindonews.com/read/2013/06/05/18/746429/memahami-uu-pencucian-uang-dan-akibat-hukumnya
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !