Jika ingin menetap selama 6 bulan ke
depan, tanamlah padi
jika ingin menetap selama 10 tahun ke
depan, tanamlah pepohonan
Jika ingin menetap selama 100 tahun
kedepan, didiklah generasi
_Pepatah cina_
Alkisah di sebuah desa yang konon miskin dan
terbelakang terdapatlah sebuah sekolah tua yang hampir rubuh. Ketika musim
penghujan datang anak-anaknya harus merelakan kelas ditunda karena atap-atap
sengnya yang bocor tak mampu menahan rembesan air, pun ketika musim kemarau
datang hawa panas dalam ruangan membuat para siswa harus berkipas sembari
mendengarkan pelajaran. Sebagian besar orangtua muridnya adalah kuli-kuli dari
sebuah perusahaan yang hanya mengerti cara mengeruk keuntungan dari bumi mereka
tanpa memperdulikan kesejahteraan para pekerjanya. Walhasil desa tersebut terus
menerus berada dalam kondisi mengenaskan.
Namun sebuah harapan mulai tumbuh bak kecambah di
musim hujan ketika siswa di sekolah miskin tersebut mampu memenangkan sebuah
perlombaan cerdas cermat tingkat kecamatan. Masyarakat kini mulai percaya bahwa
anak-anak desa tersebut tidak kalah pintar dibanding mereka yang di kota.
Sedikit demi sedikit para muridnya berani bermimpi untuk mengenyam pendidikan
yang lebih tinggi. Jika pada awalnya masa depan yang terbayang di benak mereka
hanyalah menjadi kuli, kini mereka mulai berani bermimpi untuk berkuliah di
luar negeri. Mimpi-mimpi itu pun terus dirawat dengan penuh kasih sayang oleh
guru-guru yang meskipun hidup miskin namun penuh dedikasi.
“Bermimpilah dan biarkan Tuhan memeluk
mimpi-mimpimu” adalah sebuah dorongan dahsyat yang pada akhirnya membawa
seorang anak dari desa miskin tersebut untuk mampu menaklukan segala
keterbatasan hingga kemudian berdiri di altar terhormat pendidikan, Sorbonne
University di negeri Prancis. Tergerak dari pengalamannya akhirnya sang
anak memilih untuk mengabadikan semua kisah hidupnya dalam rentetan karya
sastra. Tak disangka karyanya mendapat apresiasi luar biasa, hingga
kemudian diangkat menjadi sebuah film yang hingga saat ini masih menjadi
fenomena. Semenjak itu semua orang berlomba-lomba mengunjungi desa tempat sang
penulis mendapatkan inspirasi atas karya novelnya yang luar biasa.
Cerita tadi adalah secuplik kisah nyata dari
seorang anak bernama Andrea Hirata, penulis best-seller dari Tetralogi
Laskar Pelangi. Desa terbelakang tersebut adalah Desa Gantong di Kabupaten
Belitung, yang kini menjadi daerah yang tak terbendung kemajuannya. Semenjak
meledaknya keberhasilan Tetralogi Laskar Pelangi ditambah lagi dengan filmnya
yang mampu mengeskpos keindahan alam yang mempesona, kini masyarakat setempat
ikut menikmati royaltinya dengan kemajuan yang mengagumkan. Jalan-jalan
dibangun, rumah-rumah diperbaiki, objek wisata diperindah, pendapatan
masyarakat bertambah dan meningginya perhatian dari pemerintah pusat maupun
daerah.
Cerita tadi merupakan merupakan bukti nyata dari pepatah Cina yang
penulis kutip diawal. Bahwa pendidikan dapat menghasilkan buah yang lebih manis
dan berkepanjangan dibandingkan dengan menanam sebuah pohon semata.
Kini jika kita bercermin dari kabupaten kita
tercinta, Kapuas Hulu memiliki luas wilayah melebihi gabungan provinsi Banten
dan DKI Jakarta. Dengan segudang kekayaan alamnya, tersimpan potensi yang
begitu besar untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Sebut saja sektor
perikanan dimana setiap tahunnya hasil panen melimpah hingga ribuan ton. Sektor
pariwisata dimana tak kurang dari 40 obyek wisata tersebar dengan segala daya
tarik alam dan budayanya. Ditambah bonus demografi dimana jumlah penduduk usia
produktif mendominasi sekitar 78% dari keseluruhan penduduknya.
Namun ada kejanggalan yang tak dapat kita
abaikan. Jika dibandingkan dengan kabupaten lain di Indonesia, kabupaten Kapuas
Hulu masih menempati salah satu urutan terbawah dalam hal kesejahteraan dan
kemerataan tingkat pendapatan. Tidak jarang kita merasakan adanya paradoks
“kutukan sumber daya” dimana dengan semakin berlimpahnya kekayaan alam justru
mengakibatkan penderitaan berkepanjangan. Melimpahnya kayu berkualitas justru
menyuburkan pembalakan hutan, tersedianya kekayaan tambang justru membawa
limbah dan bencana mematikan, besarnya jumlah penduduk justru menghasilkan
kemiskinan dan pengangguran. Lantas apa yang salah selama ini?
Rasanya bukan ranah penulis untuk mencari-cari
kesalahan, lagipula mencari-cari kesalahan bisa jadi hanya akan menambah pelik
permasalahan. Bagi kita yang percaya bahwa selalu ada harapan, penulis yakin
masih ada sebuah kata yang harus bersama-sama kita perjuangkan, PENDIDIKAN.
Merupakan sebuah keniscayaan bahwa pendidikan mampu meningkatkan kualitas
kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Merupakan kenyataan tak terbantahkan
bahwa seiring peningkatan kualitas pendidikan maka tingkat kesejahteraan dan
kemakmuran akan meningkat meskipun perlahan. Setidaknya itulah yang berhasil
dibuktikan oleh negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Hingga
tepatlah apa yang dikatakan Bapak kemerdekaan Afrika Nelson Mandela, “Education
is the most powerful weapon we can use to change the world”.
Maka jika kita biasanya berputar-putar pada
sektor ekonomi dan keuangan dalam menyelesaikan masalah pembangunan, maka tidak
ada salahnya kita mulai untuk mengawali semua itu dari ranah pendidikan. Jika
kita biasanya menginvestasikan uang dengan membeli emas atau tanah perkebunan,
tidak ada salahnya untuk buku-buku dan fasilitas belajar kita alokasikan.
Meskipun masih banyak permasalahan yang belum
kita selesaikan, meskipun masih panjang perjalanan menuju kesejahteraan. Namun
kita semua percaya bahwa menyalakan lilin harapan selalu lebih baik daripada
sekedar mengecam kegelapan. Mutlak diperlukan kerjasama semua pihak untuk
bersama-sama menjaga bara api lilin harapan. Karena masalah pendidikan bukan
hanya tugas pemerintah yang diwakilkan oleh bupati atau dinas pendidikannya
saja, namun pendidikan adalah tugas semua orang yang terdidik.
Herry Dharmawan
Pengajar Muda Kapuas Hulu
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !