Headlines News :
http://picasion.com/i/1URpX/
http://picasion.com/i/1UScV/
Home » , » 11 Jam Menyusuri Hutan Desa Nanga Betung

11 Jam Menyusuri Hutan Desa Nanga Betung

On Wednesday, February 20, 2013 | 2:04 PM


Hutan Desa Nanga Betung, Kecamatan Boyan Tanjung sangat cocok sebagai kawasan ekowisata. Meski Track yang ada sangat menantang, namun bisa dilakukan dalam satu hari perjalanan. Berikut catatan perjalanan Eko Darmawan bersama Kepala Desa Nanga Betung Nuhakim AK, selama 11 jam menyusuri hutan desa tersebut

Oleh : Eko Darmawan (Koordinator FFI IP Kapuas Hulu)

Sabtu, 2 Februari 2013 menjadi hari yang tak akan pernah saya lupakan. Selama 11 jam, saya ditemani Nurhakim AK, Kades Desa Nanga Betung, Kecamatan Boyan Tanjung menyusuri hutan desa tersebut. Guna menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan dan sekaligus melakukan obeservasi. Mengamati langsung apakah hutan desa ini cocok menjadi salah satu destinasi ekowisata Kapuas Hulu.
Dari Kota Putussibau, Desa Nanga Betung Kecamatan Boyan Tanjung tak sulit di jangkau. Dengan perjalanan darat, cukup 2 jam sudah tiba di desa yang asri itu. mulusnya jalan Negara lintas selatan yang menghubungkan Putussibau dan Desa Nanga Betung membuat perjalanan bisa cepat. Dari Putussibau perjalanan awal mencapai Nanga Boyan, ibu kota Kecamatan Boyan Tanjung. Sampai di simpang empat, turun ke arah kiri menuju jalan Desa Betung. Dari simpang empat hanya 2 kilo sudah sampai di desa itu.
Rumah Pak Kades menjadi destinasi awal saya. Setibanya di rumah pak kades, rehat sejenak langsung memulai tracking. Jam 7.20 perjalanan kami mulai, dengan awalnya melalui pemukimanan warga. Kemudian menyeberang sungai utama yaitu sungai Boyan. Penyeberangan dibantu oleh warga setempat menggunakan body perahu berkapasitas untuk 12 orang dan mesin speed 15 PK, hanya butuh tidak lebih dari 10 menit saja kami sudah berada di seberang dan siap melakukan perjalanan panjang..
Awal perjalanan kami melalui perkebunan Karet rakyat. Beberapa blok diantaranya sudah berproduksi dan sedang dipanen masyarakat. Menurut pak Kades, penyadapan yang baik sebenarnya lebih pagi dari sekarang. Sekitar jam 5 sampai jam 6 pagi.
sekarang seharusnya sudah memungut hasil torehan atau sadapan,” ujar Pak Nurhakim.
Banyak blok kebun karet yang masih belum berproduksi. Komposisi jenis tanaman karet yang ditanam masyarakat juga bervariasi. Sudah banyak yang dari jenis unggul atau hasil Okulasi dengan jarak tanam yang stabil dan rapi. Tetapi masih banyak juga yang dari Karet alam/lokal serta jarak tanamnya masih belum konsisten, sehingga tampak tidak rapi. Diantaranya juga ada yang dibersihkan sangat baik, tetapi banyak diantaranya yang seperti tidak terpelihara baik penuh dengan semak.
Selain memandang kebun karet masyarakat, kami juga menempuh hamparan kerikil batu putih bening yang merupakan areal bekas tambang. Menurut Pak Kades areal ini ditambang sekitar 7 sampai 10 tahun lalu. Sekarang rerumputan saja belum tumbuh menutupinya semua, dan tidak ada jenis pohon yang tumbuh disini. Terdapat beberapa lobang besar yang berisi air seperti danau-danau kecil. Menurut Pak Kades, itu adalah lokasi tambang terakhir sebelum areal tersebut ditinggalkan. Airnya bening agak kebiruan namun tidak baik untuk mandi, apalagi untuk dikonsumsi.
Setelah melalui hamparan bekas tambang tadi kami harus menyeberangi sungai yang tidak asing bagi masyarakat Nanga Betung yaitu sungai Miru, penamaan sungai ini berasal dari istilah dari warna air yang jernih, bening, putih dan kearah biru sehingga “membiru” dan dengan dialek lokal nama sungai ini jadi dikenal dengan sungai Miru.
Sekitar jam 9.30 kami sudah menempuh perjalanan diwilayah bekas ladang tua yang dikenal masyarakat sebagai pemudak. Kurang lebih 100-an Ha wilayah ini diladang sekitar 5 sampai 10 tahun lalu. Diameter kayu-kayu pionir berkisar sekitar 10 sampai 25 cm, terdiri dari jenis2 mang (mahang) dan jambu monyet (jambu mahkota/masuk keluarga melastoma). Memang ada beberapa pohon tunggal yang hidup dan dibiarkan tumbuh ditengah perladangan ini. Secara kebetulan yang kami lalui ini adalah milik pak Kades yang diladanginya dulu ketika beliau masih belum menjabat sebagai Kades.
Luas wilayah pemudak milik pak Kades ini sekitar 20-an Ha yang dikerjakan dalam durasi 3 tahun yaitu pada masa tanam tahun 2003, 2004 dan 2005. Dari luasan semua ini hanya terdapat 4 pohon besar yang ditinggalkan dan masih hidup serta berdiri tegak, pohon-pohon besar ditengah bekas ladang itu berdiri sendiri-sendiri berjauhan. Saya jadi ingat dalam teknis penyelamatan dan koridor elang. Keberadaan pohon seperti ini sangat tepat dan berarti, ketika saya sampaikan pada pak Kades, beliau mengatakan bahwa selain elang terkadang jenis-jenis burung Enggang baik jenis Julang, Kangkareng bahkan Rangkong (Buceros sp) juga mampir dipohon2 sisa ini.
Jenis-jenis kayu sebagai penyusun ekologi utama areal pemudak-pemudak tua ini antara lain adalah jenis-jenis Pelaik (Alstonia sp), jenis Garung, Entukong dan Kubung (ketiganya merupakan jenis pionir dari keluarga Macaranga), kemudian jenis Leban (Vitek pubescen), Melingai, Terentang, dll, selain Jambu monyet/Jambu mahkota (keluarga Melastoma)
Sekitar 1 jam perjalanan didalam wilayah pemudak tua tadi kamipun sampai pada pinggiran hutan. Kawasan hutan ini memang bukan lagi hutan primer. Selain aktifitas masyarakat yang mengambil kayu untuk kebutuhan ramu/bahan bangunan perumahan masyarakat, juga sekitar tahun 1900-an dulu pernah bekerja beberapa kali ijin perusahaan kayu. Antara lain PT. Papa Guna yang beroperasi tahun 1980-an dan yang terakhir adalah HPH-100 Ha yang ijinnya berakhir tahun 2003.
Sengaja kami istirahat dibibir hutan besar ini untuk menikmati udara segar serta menyaksikan dua kondisi alam yang ekstrim berbeda. Dimana bekas ladang tua cahaya matahari menerobos sampai ke lantai hutan atau semak belukar hampir 80 %, sementara dikawasan yang masih berhutan cahaya matahari hanya menembus sekitar 30 % saja, kemudian belukar dan resam tidak kita jumpai lagi.
Yang sangat menarik dari perjalanan ini dan bermakna adalah sekitar 20 meter kedepan (kedalam wilayah hutan) kita sudah menjumpai satu pohon yang berdiameter hampir 150 cm, pak Kades bilang usia kayu ini bisa mencapai 120 tahun-an.
Perbincangan banyak kami lakukan dipemberhentian ini. Karena banyak sekali topik/pokok bahasan yang kami diskusikan. Tidak saja potensi tambang yang sedang marak berkembang diwilayah ini, juga mengenai potensi-potensi peningkatan ekonomi dari sektor lain, misalnya pertanian dan perkebunan karet. Pak Kades banyak dan bangga mengulas mengenai kesadaran masyarakat yang meningkat sejak kondisi ekologis yang rusak dari sungai Miru akibat tambang.
Kemudian koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah daerah terutama Dinas Perkebunan dan Kehutanan yang semakin intensif dilakukannya, tidak percuma, karena dalam durasi 3 tahun terakhir paket-paket bantuan dari instansi tersebut selalu masuk. Baik perkebunan karet rakyat maupun Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang juga didominasi oleh jenis tanaman Karet dan Gaharu. Besar harapan pak Kades pada tahun 2015 ke depannya aktifitas pertambangan yang banyak digeluti masyarakat sekarang akan beralih ke penyadapan karet, serta penyuntikan gaharu. Sejalan dengan itu penanaman akan tetap dilakukan dan demikianlah seterusnya.
Optimisme pak Kades tersebut diatas kami akhiri dengan melanjutkan perjalanan lagi.
Sekitar setengah jam perjalanan kembali kami menjumpai pohon besar dari jenis Kempas (Cempassia exelsa), diameternya lebih dari 150 cm, dan kamipun menyempatkan diri untuk foto lagi. Kemudian banyak pohon-pohon dari jenis-jenis lokal berukuran 60-cm up yang berdasarkan aturan TPTI bisa ditebang untuk diproduksi, jadi walaupun bukan hutan primer namun potensi kayu diwilayah ini masih relatif tinggi. Adapun jenis-jenis kayu lokal yang ada antara lain, Tengkawang, Meranti, Keladan, Resak (Shorea sp), Medang, Rukam, Muton, Keranji, Tapang, Durian, Nibung, Pedaru, Gaharu, Tekam, Barak, Kaliakik, Gelam, Kensurai bukit, Belaban, dll
Diantara jenis-jenis kayu tersebut diatas, secara ekologi akan berkembangbiak atau bereproduksi serta menyebar ke segala arah. Baik dari biji melalui buah menyebar sendiri melalui alam maupun akibat binatang yang mengkonsumsinya, Orangutan misalnya sangat besar fungsinya untuk penyebaran berbagai species tumbuhan hutan ini, demikian juga tentunya beinatang-binatang lain.
Buah dari jenis-jenis tumbuhan hutan ini bisa dimakan untuk nutrisi bagi semua binatang, filosopinya adalah “jika buah tersebut bisa dimakan binatang maka berpeluang besar manusia juga bisa memakannya”, sehingga beberapa buah yang bisa untuk dijumpai dan bisa dimakan adalah buah Tatau, Rukam dan buah Keranji (Dialium sp) biasa dimakan oleh masyarakat, kemudian buah Ubai dan Uba, Petai hutan, Kemayau, Temudak, Linang, Enceriak, Subal, buah Puak (ada 2 jenis; Puak putih & Puak kuning), dll
Selain jenis kayu, tumbuhan serta panorama alam dan kondisi ekologis hutan yang kami lalui, indikasi keberadaan satwa dan burung juga dominan. Pertama kami kami perdebatkan adalah seekor tupai biasa yang sering kita jumpai dikampung-kampung, kemudian sepasang kupu2 yang sangat menarik menjadi inspirasi kami berbincang pada suasana romantis antara laki-laki dan betina(istilah lokal). Kembali ke perdebatan mengenai tupai, memang diwilayah ini pernah ada dan diyakini masih ada yaitu tupai terbang (dari ordo Rodentia dan keluarga Sciuridae), ukuran tubuhnya juga ada yang sebesar tupai biasa, ada juga yang agak besar berwarna kemerahan yang masyarakat lokal menyebutnya Engkerabak.
Kami juga menjumpai bekas daerah Burung Ruai (Argusinaus argus), dari tanda-tanda di lantai hutan yang bersih tempat dia mencari makan. Menurut pak Kades selain jenis-jenis Ruai dan Ayam utan jenis-jenis burung Punai masih banyak diwilayah ini, kemudian ada lagi jenis burung Ruwek (sejenis Julang), serta jenis-jenis Rangkong dimana bahkan pada survey HCVF di transek Hutan Desa ini pada tahun 2012 lalu menjumpai Rangkong Badak (Buceros rhinoceros).
Pada rute yang masih didalam hutan ini kami menjumpai suara Kelempiau (Hylobates muelleri) yang sangat jelas, diperkirakan sumbernya sekitar 1 sampai 2 bukit disekitar keberadaan kami, tetapi kami tidak bisa melihatnya karena rerimbunan canopi hutan yang cukup tebal.
Selain suara Kelempiau, beberapa jenis suara burung juga kadang terdengar saling bersahutan, pak Kades mengatakan bahwa Burung jenis Murai Batu masih cukup banyak diwilayah ini. Banyak juga yang sudah menangkap dan menjualnya, demikian juga pesanan/orderan baik dari luar kampung, kota Kecamatan sampai bahkan dari Pontianak.
Pak Kades juga menceritakan periode beberapa bulan yang lalu ada serombongan orang yang berburu burung jenis Rangkong, mereka juga mau beli awetan kepala dan tengkorak dari Burung Rangkong ini,  harganya cukup pantastis, jika kondisinya baik dan sesuai dengan orderan mereka harganya bisa mencapai 3 sampai 4 juta rupiah, sangat menggiurkan. Padahal jenis Burung Rangkong itu salah satu atribut jika beberapa suku Dayak melakukan prosesi ritual adatnya.
Sekitar jam 12.30 didalam trek kami mendengar suara mesin, seperti chainsow, tetapi akan tertahan. Pak kades bilang itulah suara mesin sedot dari pertambangan masyarakat yang juga dikenal dengan istilah Pertambangan Emas. Tetapi disini, maksudnya diwilayah ini sudah ditetapkan sebagai kawasan WPR (wilayah Pertambangan Rakyat) oleh Pemerintah Daerah Kapuas Hulu, namun demikian luasan dan batas-batasnya masih tidak rinci dan jelas, inilah yang sedikit menyulitkan administrasi dan penertiban yang digagas oleh pak Kades
Aktifitas pertambangan emas oleh masyarakat ini merupakan kegiatan yang sudah sangat lama dilakukan, pak Kades menceritakan bahwa sejak kurang lebih tahun 70-an  pertambangan emas awalnya dilakukan oleh masyarakat dari daerah Kalimantan Tengah melalui Sanggau, masyarakat Nanga Betung sendiri mulai ikut-ikutan dalam aktifitas tambang emas ini sejak tahun 1980-an dan diawalnya dulu peralatan yang digunakan relatif sederhana dan berkapasitas kecil, dan sekitar tahun 1992 peralatannya menjadi lebih canggih dan sejak tahun 2000-an ini berkapasitas besar misalnya dengan indikator mesin yang digunakan adalah mesin dompeng 20 sampai 30 HP, atau bahkan dari mesin Truck 100 sampai 110 PS.
Ketika kami istirahat di persimpangan sungai Mawang, pak kades bilang bahwa aktifitas penambangan masyarakat yang suaranya terdengar itu berada dihilir sungai. Sungainya sangat jernih dan sangat kontras dengan hilirnya sebagaimana yang kami lewati diawal perjalanan ini.
Tepat jam 13 kami sampai pada persimpangan rintisan dan bekas jalan perusahaan kayu periode tahun 1980-an (PT. Papa Guna), yang sudah sejak lama tidak terpelihara. Kami berdua kembali ke kampung tetapi melalui bekas jalan logging. Perjalanan melalui eks jalan logging ini juga memberikan inspirasi tersendiri, dari variasi panorama dan kondisi perkembangan vegetasi sampai pada teriknya sinar matahari memberikan respon tubuh yang berbaur, ditambah kondisi capek karena perjalanan yg sudah relatif panjang dan lama.
Walaupun pak Kades tidak henti-hentinya berkisah baik terkait perjalanan panjang sejarah usaha perkayuan yang dilakukan pengusaha yang didominasi oleh orang luar ini, sampai keterlibatan personal dan pihak tertentu di pemerintahan bahkan orang dekat penguasa dan berpengaruh, sehingga perusahaan kayu ini berjalan mulus mengerok kekayaan bumi wilayah desa Nanga Betung ini, dan sekarang pergi tiada kabar berita, dan tiada mau tahu apapun akibat yang diterima masyarakat desa Nanga Betung, juga tidak mau tahu apa kemauan masyarakat Nanga Betung ini kedepannya.
Beberapa jembatan yang dulunya terpelihara kokoh bisa dilalui logging truck dengan muatan ribuan kubik kayu, tetapi sekarang kita harus masuk kesungai untuk melewatinya karena jembatannya sudah tidak berbentuk lagi. Menurut pak Kades sudah lama sekali kendaraan roda empat tidak bisa masuk ke wilayah ini, lebih kepada karena jembatan yang putus ini, sejak kegiatan pertambangan yang marak mengarah kewilayah ini semua perlengkapan dibawa menggunakan kendaraan roda 2. Pak Kades juga bercerita bahwa aksessibilitas ini juga memberi berkah dan rezeki kepada beberapa pemuda didesanya dan didesa Boyan Tanjung, karena tidak banyak yang mengetahui rute serta kemahiran membawa kendaraan roda 2 ini dengan medan seperti ini, istilah ngojek tetap dipakai akan tetapi khusus untuk rute ini terutama ke lokasi tambang mulai di Km 20, sekarang tukang ojeknya sangat terbatas, sehingga tarifnya juga cukup menggiurkan, yaitu untuk masuk sampai ke Km 20 harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 300,000,- dan jika ikut pulang cukup membayar Rp 75.000,- saja (tetapi bukan pesan dijemput), jika pesan untuk dijemput maka harus membayar jumlah kedua tarif itu (Rp 375.000,-). Tarif ini diterapkan untuk setiap trip ojek, tidak membedakan muatan barang atau orang.
Perjalanan yang melelahkan ini akhirnya kembali terbayar dengan melalui sebuah puncak bukit dengan pemandangan hamparan Mahakarya Allah SWT, Tuhan Maha Kuasa disertai angin sepoi yang meresap sampai ketulang, meringankan letih serta mengingatkan bahwa kebesaran Tuhan dan betapa kecilnya diri mengarah pada wujud berterimakasih dan bersyukur atas semua yang sudah dirasa dan dimiliki.
Berbekal sisa-sisa tenaga dan kepercayaan diri serta rasa malu saya pada pak Kades, perjalanan saya lanjutkan mengikuti langkah pak Kades yang tampak masih gagah dan bersemangat, setengah jam kemudian kamipun tiba di persimpangan jalan raya, dimana 2 orang tukang ojek sudah siap mengantar kami kembali ke Kampung/Desa Nanga Betung. Butuh sekitar 15 menit, dengan melalui kota Kecamatan Boyan Tanjung kemudian masuk ke arah Riam Menggelai sekitar 2 Km, kamipun tiba kembali dirumahnya Kepala Desa Nanga Betung, sementara jam sudah menunjukkan pukul 5.50 petang, dimana ketika saya merebahkan badan ditikar diruang keluarganya Pak Kades, azan Maggrib-pun berkumandang.*
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

http://picasion.com/i/1USKG/
 
Support : Bang Eceng | Template | @Adhittia_Egha
Copyright © 2013. Suara Uncak Kapuas - All Rights Reserved
Dirancang Oleh Adhittia Egha Atau Bang Eceng