Hutan Desa Nanga
Betung, Kecamatan Boyan Tanjung sangat cocok sebagai kawasan ekowisata. Meski
Track yang ada sangat menantang, namun bisa dilakukan dalam satu hari
perjalanan. Berikut catatan perjalanan Eko Darmawan bersama Kepala Desa Nanga
Betung Nuhakim AK, selama 11 jam menyusuri hutan desa tersebut
Oleh
: Eko
Darmawan (Koordinator FFI IP Kapuas Hulu)
Sabtu, 2 Februari 2013 menjadi hari yang tak akan
pernah saya lupakan. Selama 11 jam, saya ditemani Nurhakim AK, Kades Desa Nanga
Betung, Kecamatan Boyan Tanjung menyusuri hutan desa tersebut. Guna menikmati
keindahan alam ciptaan Tuhan dan sekaligus melakukan obeservasi. Mengamati
langsung apakah hutan desa ini cocok menjadi salah satu destinasi ekowisata
Kapuas Hulu.
Dari Kota Putussibau, Desa Nanga Betung Kecamatan
Boyan Tanjung tak sulit di jangkau. Dengan perjalanan darat, cukup 2 jam sudah
tiba di desa yang asri itu. mulusnya jalan Negara lintas selatan yang
menghubungkan Putussibau dan Desa Nanga Betung membuat perjalanan bisa cepat.
Dari Putussibau perjalanan awal mencapai Nanga Boyan, ibu kota Kecamatan Boyan
Tanjung. Sampai di simpang empat, turun ke arah kiri menuju jalan Desa Betung.
Dari simpang empat hanya 2 kilo sudah sampai di desa itu.
Rumah Pak Kades menjadi destinasi awal saya. Setibanya
di rumah pak kades, rehat sejenak langsung memulai tracking. Jam 7.20 perjalanan kami mulai, dengan
awalnya melalui pemukimanan warga. Kemudian menyeberang sungai utama yaitu sungai Boyan.
Penyeberangan dibantu oleh warga setempat menggunakan body perahu berkapasitas
untuk 12 orang dan mesin speed 15 PK, hanya butuh tidak lebih dari 10 menit
saja kami sudah berada di seberang dan siap melakukan perjalanan panjang..
Awal
perjalanan kami melalui perkebunan Karet rakyat. Beberapa blok diantaranya sudah
berproduksi dan sedang dipanen masyarakat. Menurut pak Kades, penyadapan yang baik
sebenarnya lebih pagi dari sekarang. Sekitar jam 5 sampai jam 6 pagi.
“sekarang
seharusnya sudah memungut hasil torehan atau sadapan,” ujar Pak
Nurhakim.
Banyak blok
kebun karet yang masih belum berproduksi. Komposisi jenis tanaman karet yang ditanam
masyarakat juga bervariasi. Sudah
banyak yang dari jenis unggul atau hasil Okulasi dengan jarak tanam yang stabil
dan rapi. Tetapi
masih banyak juga yang dari Karet alam/lokal serta jarak tanamnya masih belum
konsisten, sehingga tampak tidak rapi. Diantaranya juga ada yang dibersihkan
sangat baik, tetapi banyak diantaranya yang seperti tidak terpelihara baik penuh
dengan semak.
Selain
memandang kebun karet masyarakat, kami juga menempuh hamparan kerikil batu putih bening yang
merupakan areal bekas tambang. Menurut
Pak Kades areal ini
ditambang sekitar 7 sampai 10 tahun lalu. Sekarang rerumputan saja belum tumbuh
menutupinya semua, dan tidak ada jenis pohon yang tumbuh disini. Terdapat beberapa lobang besar yang
berisi air seperti danau-danau kecil. Menurut Pak Kades, itu adalah lokasi tambang terakhir
sebelum areal tersebut ditinggalkan.
Airnya bening agak kebiruan namun tidak
baik untuk mandi, apalagi untuk dikonsumsi.
Setelah
melalui hamparan bekas tambang tadi kami harus menyeberangi sungai yang tidak
asing bagi masyarakat Nanga Betung yaitu sungai Miru, penamaan sungai ini
berasal dari istilah dari warna air yang jernih, bening, putih dan kearah biru
sehingga “membiru” dan dengan dialek lokal nama sungai ini jadi dikenal dengan
sungai Miru.
Sekitar jam
9.30 kami sudah menempuh perjalanan diwilayah bekas ladang tua yang dikenal
masyarakat sebagai pemudak. Kurang
lebih 100-an Ha wilayah ini diladang sekitar 5 sampai 10 tahun lalu. Diameter
kayu-kayu pionir berkisar sekitar 10 sampai 25 cm, terdiri dari jenis2 mang
(mahang) dan jambu monyet (jambu mahkota/masuk keluarga melastoma). Memang ada
beberapa pohon tunggal yang hidup dan dibiarkan tumbuh ditengah perladangan ini. Secara kebetulan yang kami lalui ini
adalah milik pak Kades yang diladanginya dulu ketika beliau masih belum
menjabat sebagai Kades.
Luas wilayah
pemudak milik pak Kades ini sekitar 20-an Ha yang dikerjakan dalam durasi 3
tahun yaitu pada masa tanam tahun 2003, 2004 dan 2005. Dari luasan semua ini
hanya terdapat 4 pohon besar yang ditinggalkan dan masih hidup serta berdiri
tegak, pohon-pohon besar ditengah bekas ladang itu berdiri sendiri-sendiri
berjauhan. Saya
jadi ingat dalam teknis penyelamatan dan koridor elang. Keberadaan pohon seperti ini sangat tepat
dan berarti, ketika saya sampaikan pada pak Kades, beliau mengatakan bahwa selain
elang terkadang jenis-jenis burung Enggang baik jenis Julang, Kangkareng bahkan
Rangkong (Buceros sp) juga mampir
dipohon2 sisa ini.
Jenis-jenis
kayu sebagai penyusun ekologi utama areal pemudak-pemudak tua ini antara lain
adalah jenis-jenis Pelaik (Alstonia sp),
jenis Garung, Entukong dan Kubung (ketiganya merupakan jenis pionir dari
keluarga Macaranga), kemudian jenis Leban (Vitek
pubescen), Melingai, Terentang, dll, selain Jambu monyet/Jambu mahkota
(keluarga Melastoma)
Sekitar 1 jam
perjalanan didalam wilayah pemudak tua tadi kamipun sampai pada pinggiran hutan. Kawasan hutan ini memang bukan lagi hutan
primer. Selain aktifitas
masyarakat yang mengambil kayu untuk kebutuhan ramu/bahan bangunan perumahan masyarakat, juga
sekitar tahun 1900-an dulu pernah bekerja beberapa kali ijin perusahaan kayu.
Antara lain PT. Papa Guna yang beroperasi tahun 1980-an dan yang terakhir adalah HPH-100 Ha
yang ijinnya berakhir tahun 2003.
Sengaja kami
istirahat dibibir hutan besar ini untuk menikmati udara segar serta menyaksikan
dua kondisi alam yang ekstrim berbeda. Dimana bekas ladang tua cahaya matahari menerobos sampai ke
lantai hutan atau semak belukar hampir 80 %, sementara dikawasan yang masih
berhutan cahaya matahari hanya menembus sekitar 30 % saja, kemudian belukar dan
resam tidak kita jumpai lagi.
Yang sangat
menarik dari perjalanan ini dan bermakna adalah sekitar 20 meter kedepan
(kedalam wilayah hutan) kita sudah menjumpai satu pohon yang berdiameter hampir
150 cm, pak Kades bilang usia kayu ini bisa mencapai 120 tahun-an.
Perbincangan
banyak kami lakukan dipemberhentian ini. Karena banyak sekali topik/pokok bahasan yang
kami diskusikan. Tidak
saja potensi tambang yang sedang marak berkembang diwilayah ini, juga mengenai
potensi-potensi peningkatan ekonomi dari sektor lain, misalnya pertanian dan
perkebunan karet. Pak Kades banyak dan bangga mengulas mengenai kesadaran
masyarakat yang meningkat sejak kondisi ekologis yang rusak dari sungai Miru
akibat tambang.
Kemudian koordinasi
dan komunikasi dengan pemerintah daerah terutama Dinas Perkebunan dan Kehutanan
yang semakin intensif dilakukannya, tidak percuma, karena dalam durasi 3 tahun
terakhir paket-paket bantuan dari instansi tersebut selalu masuk. Baik perkebunan karet rakyat maupun
Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang juga didominasi oleh jenis tanaman Karet dan
Gaharu. Besar harapan pak Kades pada tahun 2015 ke depannya aktifitas
pertambangan yang banyak digeluti masyarakat sekarang akan beralih ke
penyadapan karet, serta penyuntikan gaharu. Sejalan dengan itu penanaman akan tetap
dilakukan dan demikianlah seterusnya.
Optimisme pak
Kades tersebut diatas kami akhiri dengan melanjutkan perjalanan lagi.
Sekitar
setengah jam perjalanan kembali kami menjumpai pohon besar dari jenis Kempas (Cempassia exelsa), diameternya lebih
dari 150 cm, dan kamipun menyempatkan diri untuk foto lagi. Kemudian banyak pohon-pohon dari
jenis-jenis lokal berukuran 60-cm up yang berdasarkan aturan TPTI bisa ditebang
untuk diproduksi, jadi walaupun bukan hutan primer namun potensi kayu diwilayah
ini masih relatif tinggi. Adapun
jenis-jenis kayu lokal yang ada antara lain, Tengkawang, Meranti, Keladan,
Resak (Shorea sp), Medang, Rukam,
Muton, Keranji, Tapang, Durian, Nibung, Pedaru, Gaharu, Tekam, Barak, Kaliakik,
Gelam, Kensurai bukit, Belaban, dll
Diantara
jenis-jenis kayu tersebut diatas, secara ekologi akan berkembangbiak atau
bereproduksi serta menyebar ke segala arah. Baik dari biji melalui buah menyebar
sendiri melalui alam maupun akibat binatang yang mengkonsumsinya, Orangutan
misalnya sangat besar fungsinya untuk penyebaran berbagai species tumbuhan
hutan ini, demikian juga tentunya beinatang-binatang lain.
Buah dari
jenis-jenis tumbuhan hutan ini bisa dimakan untuk nutrisi bagi semua binatang,
filosopinya adalah “jika buah tersebut bisa dimakan binatang maka berpeluang
besar manusia juga bisa memakannya”, sehingga beberapa buah yang bisa untuk
dijumpai dan bisa dimakan adalah buah Tatau, Rukam dan buah Keranji (Dialium sp) biasa dimakan oleh
masyarakat, kemudian buah Ubai dan Uba, Petai hutan, Kemayau, Temudak, Linang,
Enceriak, Subal, buah Puak (ada 2 jenis; Puak putih & Puak kuning), dll
Selain jenis
kayu, tumbuhan serta panorama alam dan kondisi ekologis hutan yang kami lalui,
indikasi keberadaan satwa dan burung juga dominan. Pertama kami kami
perdebatkan adalah seekor tupai biasa yang sering kita jumpai
dikampung-kampung, kemudian sepasang kupu2 yang sangat menarik menjadi
inspirasi kami berbincang pada suasana romantis antara laki-laki dan
betina(istilah lokal). Kembali ke perdebatan mengenai tupai, memang diwilayah
ini pernah ada dan diyakini masih ada yaitu tupai terbang (dari ordo Rodentia dan keluarga Sciuridae), ukuran tubuhnya juga ada
yang sebesar tupai biasa, ada juga yang agak besar berwarna kemerahan yang
masyarakat lokal menyebutnya Engkerabak.
Kami juga
menjumpai bekas daerah Burung Ruai (Argusinaus
argus), dari tanda-tanda di lantai hutan yang bersih tempat dia mencari
makan. Menurut pak Kades selain jenis-jenis Ruai dan Ayam utan jenis-jenis
burung Punai masih banyak diwilayah ini, kemudian ada lagi jenis burung Ruwek
(sejenis Julang), serta jenis-jenis Rangkong dimana bahkan pada survey HCVF di
transek Hutan Desa ini pada tahun 2012 lalu menjumpai Rangkong Badak (Buceros rhinoceros).
Pada rute yang
masih didalam hutan ini kami menjumpai suara Kelempiau (Hylobates muelleri) yang sangat jelas, diperkirakan sumbernya
sekitar 1 sampai 2 bukit disekitar keberadaan kami, tetapi kami tidak bisa
melihatnya karena rerimbunan canopi hutan yang cukup tebal.
Selain suara
Kelempiau, beberapa jenis suara burung juga kadang terdengar saling bersahutan,
pak Kades mengatakan bahwa Burung jenis Murai Batu masih cukup banyak diwilayah
ini. Banyak juga yang
sudah menangkap dan menjualnya, demikian juga pesanan/orderan baik dari luar
kampung, kota Kecamatan sampai bahkan dari Pontianak.
Pak Kades
juga menceritakan periode beberapa bulan yang lalu ada serombongan orang yang
berburu burung jenis Rangkong, mereka juga mau beli awetan kepala dan tengkorak
dari Burung Rangkong ini, harganya cukup
pantastis, jika kondisinya baik dan sesuai dengan orderan mereka harganya bisa
mencapai 3 sampai 4 juta rupiah, sangat menggiurkan. Padahal jenis Burung
Rangkong itu salah satu atribut jika beberapa suku Dayak melakukan prosesi
ritual adatnya.
Sekitar jam
12.30 didalam trek kami mendengar suara mesin, seperti chainsow, tetapi akan
tertahan. Pak
kades bilang itulah suara mesin sedot dari pertambangan masyarakat yang juga
dikenal dengan istilah Pertambangan Emas. Tetapi disini, maksudnya diwilayah ini
sudah ditetapkan sebagai kawasan WPR (wilayah Pertambangan Rakyat) oleh
Pemerintah Daerah Kapuas Hulu, namun demikian luasan dan batas-batasnya masih
tidak rinci dan jelas, inilah yang sedikit menyulitkan administrasi dan
penertiban yang digagas oleh pak Kades
Aktifitas
pertambangan emas oleh masyarakat ini merupakan kegiatan yang sudah sangat lama
dilakukan, pak Kades menceritakan bahwa sejak kurang lebih tahun 70-an pertambangan emas awalnya dilakukan oleh
masyarakat dari daerah Kalimantan Tengah melalui Sanggau, masyarakat Nanga
Betung sendiri mulai ikut-ikutan dalam aktifitas tambang emas ini sejak tahun
1980-an dan diawalnya dulu peralatan yang digunakan relatif sederhana dan
berkapasitas kecil, dan sekitar tahun 1992 peralatannya menjadi lebih canggih
dan sejak tahun 2000-an ini berkapasitas besar misalnya dengan indikator mesin
yang digunakan adalah mesin dompeng 20 sampai 30 HP, atau bahkan dari mesin
Truck 100 sampai 110 PS.
Ketika kami
istirahat di persimpangan sungai Mawang, pak kades bilang bahwa aktifitas
penambangan masyarakat yang suaranya terdengar itu berada dihilir sungai. Sungainya sangat jernih dan sangat
kontras dengan hilirnya sebagaimana yang kami lewati diawal perjalanan ini.
Tepat jam 13
kami sampai pada persimpangan rintisan dan bekas jalan perusahaan kayu periode
tahun 1980-an (PT. Papa Guna), yang sudah sejak lama tidak terpelihara. Kami berdua kembali ke kampung tetapi
melalui bekas jalan logging. Perjalanan melalui eks jalan logging ini juga
memberikan inspirasi tersendiri, dari variasi panorama dan kondisi perkembangan
vegetasi sampai pada teriknya sinar matahari memberikan respon tubuh yang
berbaur, ditambah kondisi capek karena perjalanan yg sudah relatif panjang dan
lama.
Walaupun pak
Kades tidak henti-hentinya berkisah baik terkait perjalanan panjang sejarah
usaha perkayuan yang dilakukan pengusaha yang didominasi oleh orang luar ini,
sampai keterlibatan personal dan pihak tertentu di pemerintahan bahkan orang
dekat penguasa dan berpengaruh, sehingga perusahaan kayu ini berjalan mulus
mengerok kekayaan bumi wilayah desa Nanga Betung ini, dan sekarang pergi tiada
kabar berita, dan tiada mau tahu apapun akibat yang diterima masyarakat desa
Nanga Betung, juga tidak mau tahu apa kemauan masyarakat Nanga Betung ini
kedepannya.
Beberapa
jembatan yang dulunya terpelihara kokoh bisa dilalui logging truck dengan
muatan ribuan kubik kayu, tetapi sekarang kita harus masuk kesungai untuk
melewatinya karena jembatannya sudah tidak berbentuk lagi. Menurut pak Kades
sudah lama sekali kendaraan roda empat tidak bisa masuk ke wilayah ini, lebih
kepada karena jembatan yang putus ini, sejak kegiatan pertambangan yang marak
mengarah kewilayah ini semua perlengkapan dibawa menggunakan kendaraan roda 2.
Pak Kades juga bercerita bahwa aksessibilitas ini juga memberi berkah dan
rezeki kepada beberapa pemuda didesanya dan didesa Boyan Tanjung, karena tidak
banyak yang mengetahui
rute serta kemahiran membawa kendaraan roda 2 ini dengan medan seperti ini,
istilah ngojek tetap dipakai akan tetapi khusus untuk rute ini terutama ke
lokasi tambang mulai di Km 20, sekarang tukang ojeknya sangat terbatas,
sehingga tarifnya juga cukup menggiurkan, yaitu untuk masuk sampai ke Km 20
harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 300,000,- dan jika ikut pulang cukup membayar
Rp 75.000,- saja (tetapi bukan pesan dijemput), jika pesan untuk dijemput maka
harus membayar jumlah kedua tarif itu (Rp 375.000,-). Tarif ini diterapkan
untuk setiap trip ojek, tidak membedakan muatan barang atau orang.
Perjalanan
yang melelahkan ini akhirnya kembali terbayar dengan melalui sebuah puncak
bukit dengan pemandangan hamparan Mahakarya Allah SWT, Tuhan Maha Kuasa
disertai angin sepoi yang meresap sampai ketulang, meringankan letih serta
mengingatkan bahwa kebesaran Tuhan dan betapa kecilnya diri mengarah pada wujud
berterimakasih dan bersyukur atas semua yang sudah dirasa dan dimiliki.
Berbekal
sisa-sisa tenaga dan kepercayaan diri serta rasa malu saya pada pak Kades,
perjalanan saya lanjutkan mengikuti langkah pak Kades yang tampak masih gagah
dan bersemangat, setengah jam kemudian kamipun tiba di persimpangan jalan raya,
dimana 2 orang tukang ojek sudah siap mengantar kami kembali ke Kampung/Desa
Nanga Betung. Butuh sekitar 15 menit, dengan melalui kota Kecamatan Boyan
Tanjung kemudian masuk ke arah Riam Menggelai sekitar 2 Km, kamipun tiba
kembali dirumahnya Kepala Desa Nanga Betung, sementara jam sudah menunjukkan
pukul 5.50 petang, dimana ketika saya merebahkan badan ditikar diruang
keluarganya Pak Kades, azan Maggrib-pun berkumandang.*
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !