Headlines News :
http://picasion.com/i/1URpX/
http://picasion.com/i/1UScV/
Home » , » 11 Jam Menyusuri Hutan Desa Nanga Betung (sambungan dari edisi ke-2)

11 Jam Menyusuri Hutan Desa Nanga Betung (sambungan dari edisi ke-2)

On Thursday, March 7, 2013 | 2:45 AM


Hutan Desa Nanga Betung, Kecamatan Boyan Tanjung sangat cocok sebagai kawasan ekowisata. Meski Track yang ada sangat menantang, namun bisa dilakukan dalam satu hari perjalanan. Berikut catatan perjalanan Eko Darmawan bersama Kepala Desa Nanga Betung Nuhakim AK, selama 11 jam menyusuri hutan desa tersebut

Oleh : Eko Darmawan (Koordinator FFI IP Kapuas Hulu)


Diantara jenis-jenis kayu tersebut diatas, secara ekologi akan berkembangbiak atau bereproduksi serta menyebar ke segala arah. Baik dari biji melalui buah menyebar sendiri melalui alam maupun akibat binatang yang mengkonsumsinya, Orangutan misalnya sangat besar fungsinya untuk penyebaran berbagai species tumbuhan hutan ini, demikian juga tentunya beinatang-binatang lain.
Buah dari jenis-jenis tumbuhan hutan ini bisa dimakan untuk nutrisi bagi semua binatang, filosopinya adalah “jika buah tersebut bisa dimakan binatang maka berpeluang besar manusia juga bisa memakannya”, sehingga beberapa buah yang bisa untuk dijumpai dan bisa dimakan adalah buah Tatau, Rukam dan buah Keranji (Dialium sp) biasa dimakan oleh masyarakat, kemudian buah Ubai dan Uba, Petai hutan, Kemayau, Temudak, Linang, Enceriak, Subal, buah Puak (ada 2 jenis; Puak putih & Puak kuning), dll
Selain jenis kayu, tumbuhan serta panorama alam dan kondisi ekologis hutan yang kami lalui, indikasi keberadaan satwa dan burung juga dominan. Pertama kami kami perdebatkan adalah seekor tupai biasa yang sering kita jumpai dikampung-kampung, kemudian sepasang kupu2 yang sangat menarik menjadi inspirasi kami berbincang pada suasana romantis antara laki-laki dan betina(istilah lokal). Kembali ke perdebatan mengenai tupai, memang diwilayah ini pernah ada dan diyakini masih ada yaitu tupai terbang (dari ordo Rodentia dan keluarga Sciuridae), ukuran tubuhnya juga ada yang sebesar tupai biasa, ada juga yang agak besar berwarna kemerahan yang masyarakat lokal menyebutnya Engkerabak.
Kami juga menjumpai bekas daerah Burung Ruai (Argusinaus argus), dari tanda-tanda di lantai hutan yang bersih tempat dia mencari makan. Menurut pak Kades selain jenis-jenis Ruai dan Ayam utan jenis-jenis burung Punai masih banyak diwilayah ini, kemudian ada lagi jenis burung Ruwek (sejenis Julang), serta jenis-jenis Rangkong dimana bahkan pada survey HCVF di transek Hutan Desa ini pada tahun 2012 lalu menjumpai Rangkong Badak (Buceros rhinoceros).
Pada rute yang masih didalam hutan ini kami menjumpai suara Kelempiau (Hylobates muelleri) yang sangat jelas, diperkirakan sumbernya sekitar 1 sampai 2 bukit disekitar keberadaan kami, tetapi kami tidak bisa melihatnya karena rerimbunan canopi hutan yang cukup tebal.
Selain suara Kelempiau, beberapa jenis suara burung juga kadang terdengar saling bersahutan, pak Kades mengatakan bahwa Burung jenis Murai Batu masih cukup banyak diwilayah ini. Banyak juga yang sudah menangkap dan menjualnya, demikian juga pesanan/orderan baik dari luar kampung, kota Kecamatan sampai bahkan dari Pontianak.
Pak Kades juga menceritakan periode beberapa bulan yang lalu ada serombongan orang yang berburu burung jenis Rangkong, mereka juga mau beli awetan kepala dan tengkorak dari Burung Rangkong ini,  harganya cukup pantastis, jika kondisinya baik dan sesuai dengan orderan mereka harganya bisa mencapai 3 sampai 4 juta rupiah, sangat menggiurkan. Padahal jenis Burung Rangkong itu salah satu atribut jika beberapa suku Dayak melakukan prosesi ritual adatnya.
Sekitar jam 12.30 didalam trek kami mendengar suara mesin, seperti chainsow, tetapi akan tertahan. Pak kades bilang itulah suara mesin sedot dari pertambangan masyarakat yang juga dikenal dengan istilah Pertambangan Emas. Tetapi disini, maksudnya diwilayah ini sudah ditetapkan sebagai kawasan WPR (wilayah Pertambangan Rakyat) oleh Pemerintah Daerah Kapuas Hulu, namun demikian luasan dan batas-batasnya masih tidak rinci dan jelas, inilah yang sedikit menyulitkan administrasi dan penertiban yang digagas oleh pak Kades
Aktifitas pertambangan emas oleh masyarakat ini merupakan kegiatan yang sudah sangat lama dilakukan, pak Kades menceritakan bahwa sejak kurang lebih tahun 70-an  pertambangan emas awalnya dilakukan oleh masyarakat dari daerah Kalimantan Tengah melalui Sanggau, masyarakat Nanga Betung sendiri mulai ikut-ikutan dalam aktifitas tambang emas ini sejak tahun 1980-an dan diawalnya dulu peralatan yang digunakan relatif sederhana dan berkapasitas kecil, dan sekitar tahun 1992 peralatannya menjadi lebih canggih dan sejak tahun 2000-an ini berkapasitas besar misalnya dengan indikator mesin yang digunakan adalah mesin dompeng 20 sampai 30 HP, atau bahkan dari mesin Truck 100 sampai 110 PS.
Ketika kami istirahat di persimpangan sungai Mawang, pak kades bilang bahwa aktifitas penambangan masyarakat yang suaranya terdengar itu berada dihilir sungai. Sungainya sangat jernih dan sangat kontras dengan hilirnya sebagaimana yang kami lewati diawal perjalanan ini.
Tepat jam 13 kami sampai pada persimpangan rintisan dan bekas jalan perusahaan kayu periode tahun 1980-an (PT. Papa Guna), yang sudah sejak lama tidak terpelihara. Kami berdua kembali ke kampung tetapi melalui bekas jalan logging. Perjalanan melalui eks jalan logging ini juga memberikan inspirasi tersendiri, dari variasi panorama dan kondisi perkembangan vegetasi sampai pada teriknya sinar matahari memberikan respon tubuh yang berbaur, ditambah kondisi capek karena perjalanan yg sudah relatif panjang dan lama.
Walaupun pak Kades tidak henti-hentinya berkisah baik terkait perjalanan panjang sejarah usaha perkayuan yang dilakukan pengusaha yang didominasi oleh orang luar ini, sampai keterlibatan personal dan pihak tertentu di pemerintahan bahkan orang dekat penguasa dan berpengaruh, sehingga perusahaan kayu ini berjalan mulus mengerok kekayaan bumi wilayah desa Nanga Betung ini, dan sekarang pergi tiada kabar berita, dan tiada mau tahu apapun akibat yang diterima masyarakat desa Nanga Betung, juga tidak mau tahu apa kemauan masyarakat Nanga Betung ini kedepannya.
Beberapa jembatan yang dulunya terpelihara kokoh bisa dilalui logging truck dengan muatan ribuan kubik kayu, tetapi sekarang kita harus masuk kesungai untuk melewatinya karena jembatannya sudah tidak berbentuk lagi. Menurut pak Kades sudah lama sekali kendaraan roda empat tidak bisa masuk ke wilayah ini, lebih kepada karena jembatan yang putus ini, sejak kegiatan pertambangan yang marak mengarah kewilayah ini semua perlengkapan dibawa menggunakan kendaraan roda 2. Pak Kades juga bercerita bahwa aksessibilitas ini juga memberi berkah dan rezeki kepada beberapa pemuda didesanya dan didesa Boyan Tanjung, karena tidak banyak yang mengetahui rute serta kemahiran membawa kendaraan roda 2 ini dengan medan seperti ini, istilah ngojek tetap dipakai akan tetapi khusus untuk rute ini terutama ke lokasi tambang mulai di Km 20, sekarang tukang ojeknya sangat terbatas, sehingga tarifnya juga cukup menggiurkan, yaitu untuk masuk sampai ke Km 20 harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 300,000,- dan jika ikut pulang cukup membayar Rp 75.000,- saja (tetapi bukan pesan dijemput), jika pesan untuk dijemput maka harus membayar jumlah kedua tarif itu (Rp 375.000,-). Tarif ini diterapkan untuk setiap trip ojek, tidak membedakan muatan barang atau orang.
Perjalanan yang melelahkan ini akhirnya kembali terbayar dengan melalui sebuah puncak bukit dengan pemandangan hamparan Mahakarya Allah SWT, Tuhan Maha Kuasa disertai angin sepoi yang meresap sampai ketulang, meringankan letih serta mengingatkan bahwa kebesaran Tuhan dan betapa kecilnya diri mengarah pada wujud berterimakasih dan bersyukur atas semua yang sudah dirasa dan dimiliki.
Berbekal sisa-sisa tenaga dan kepercayaan diri serta rasa malu saya pada pak Kades, perjalanan saya lanjutkan mengikuti langkah pak Kades yang tampak masih gagah dan bersemangat, setengah jam kemudian kamipun tiba di persimpangan jalan raya, dimana 2 orang tukang ojek sudah siap mengantar kami kembali ke Kampung/Desa Nanga Betung. Butuh sekitar 15 menit, dengan melalui kota Kecamatan Boyan Tanjung kemudian masuk ke arah Riam Menggelai sekitar 2 Km, kamipun tiba kembali dirumahnya Kepala Desa Nanga Betung, sementara jam sudah menunjukkan pukul 5.50 petang, dimana ketika saya merebahkan badan ditikar diruang keluarganya Pak Kades, azan Maggrib-pun berkumandang.*
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

http://picasion.com/i/1USKG/
 
Support : Bang Eceng | Template | @Adhittia_Egha
Copyright © 2013. Suara Uncak Kapuas - All Rights Reserved
Dirancang Oleh Adhittia Egha Atau Bang Eceng