Hutan Desa Nanga
Betung, Kecamatan Boyan Tanjung sangat cocok sebagai kawasan ekowisata. Meski
Track yang ada sangat menantang, namun bisa dilakukan dalam satu hari
perjalanan. Berikut catatan perjalanan Eko Darmawan bersama Kepala Desa Nanga
Betung Nuhakim AK, selama 11 jam menyusuri hutan desa tersebut
Oleh
: Eko
Darmawan (Koordinator FFI IP Kapuas Hulu)
Diantara
jenis-jenis kayu tersebut diatas, secara ekologi akan berkembangbiak atau
bereproduksi serta menyebar ke segala arah. Baik dari biji melalui buah menyebar
sendiri melalui alam maupun akibat binatang yang mengkonsumsinya, Orangutan
misalnya sangat besar fungsinya untuk penyebaran berbagai species tumbuhan
hutan ini, demikian juga tentunya beinatang-binatang lain.
Buah dari
jenis-jenis tumbuhan hutan ini bisa dimakan untuk nutrisi bagi semua binatang,
filosopinya adalah “jika buah tersebut bisa dimakan binatang maka berpeluang
besar manusia juga bisa memakannya”, sehingga beberapa buah yang bisa untuk
dijumpai dan bisa dimakan adalah buah Tatau, Rukam dan buah Keranji (Dialium sp) biasa dimakan oleh
masyarakat, kemudian buah Ubai dan Uba, Petai hutan, Kemayau, Temudak, Linang,
Enceriak, Subal, buah Puak (ada 2 jenis; Puak putih & Puak kuning), dll
Selain jenis
kayu, tumbuhan serta panorama alam dan kondisi ekologis hutan yang kami lalui,
indikasi keberadaan satwa dan burung juga dominan. Pertama kami kami perdebatkan
adalah seekor tupai biasa yang sering kita jumpai dikampung-kampung, kemudian
sepasang kupu2 yang sangat menarik menjadi inspirasi kami berbincang pada
suasana romantis antara laki-laki dan betina(istilah lokal). Kembali ke
perdebatan mengenai tupai, memang diwilayah ini pernah ada dan diyakini masih
ada yaitu tupai terbang (dari ordo Rodentia
dan keluarga Sciuridae), ukuran
tubuhnya juga ada yang sebesar tupai biasa, ada juga yang agak besar berwarna
kemerahan yang masyarakat lokal menyebutnya Engkerabak.
Kami juga
menjumpai bekas daerah Burung Ruai (Argusinaus
argus), dari tanda-tanda di lantai hutan yang bersih tempat dia mencari
makan. Menurut pak Kades selain jenis-jenis Ruai dan Ayam utan jenis-jenis
burung Punai masih banyak diwilayah ini, kemudian ada lagi jenis burung Ruwek
(sejenis Julang), serta jenis-jenis Rangkong dimana bahkan pada survey HCVF di
transek Hutan Desa ini pada tahun 2012 lalu menjumpai Rangkong Badak (Buceros rhinoceros).
Pada rute yang
masih didalam hutan ini kami menjumpai suara Kelempiau (Hylobates muelleri) yang sangat jelas, diperkirakan sumbernya
sekitar 1 sampai 2 bukit disekitar keberadaan kami, tetapi kami tidak bisa
melihatnya karena rerimbunan canopi hutan yang cukup tebal.
Selain suara
Kelempiau, beberapa jenis suara burung juga kadang terdengar saling bersahutan,
pak Kades mengatakan bahwa Burung jenis Murai Batu masih cukup banyak diwilayah
ini. Banyak juga yang
sudah menangkap dan menjualnya, demikian juga pesanan/orderan baik dari luar
kampung, kota Kecamatan sampai bahkan dari Pontianak.
Pak Kades
juga menceritakan periode beberapa bulan yang lalu ada serombongan orang yang
berburu burung jenis Rangkong, mereka juga mau beli awetan kepala dan tengkorak
dari Burung Rangkong ini, harganya cukup
pantastis, jika kondisinya baik dan sesuai dengan orderan mereka harganya bisa
mencapai 3 sampai 4 juta rupiah, sangat menggiurkan. Padahal jenis Burung
Rangkong itu salah satu atribut jika beberapa suku Dayak melakukan prosesi
ritual adatnya.
Sekitar jam
12.30 didalam trek kami mendengar suara mesin, seperti chainsow, tetapi akan
tertahan. Pak
kades bilang itulah suara mesin sedot dari pertambangan masyarakat yang juga
dikenal dengan istilah Pertambangan Emas. Tetapi disini, maksudnya diwilayah ini
sudah ditetapkan sebagai kawasan WPR (wilayah Pertambangan Rakyat) oleh
Pemerintah Daerah Kapuas Hulu, namun demikian luasan dan batas-batasnya masih
tidak rinci dan jelas, inilah yang sedikit menyulitkan administrasi dan
penertiban yang digagas oleh pak Kades
Aktifitas
pertambangan emas oleh masyarakat ini merupakan kegiatan yang sudah sangat lama
dilakukan, pak Kades menceritakan bahwa sejak kurang lebih tahun 70-an pertambangan emas awalnya dilakukan oleh
masyarakat dari daerah Kalimantan Tengah melalui Sanggau, masyarakat Nanga Betung
sendiri mulai ikut-ikutan dalam aktifitas tambang emas ini sejak tahun 1980-an
dan diawalnya dulu peralatan yang digunakan relatif sederhana dan berkapasitas
kecil, dan sekitar tahun 1992 peralatannya menjadi lebih canggih dan sejak
tahun 2000-an ini berkapasitas besar misalnya dengan indikator mesin yang
digunakan adalah mesin dompeng 20 sampai 30 HP, atau bahkan dari mesin Truck 100
sampai 110 PS.
Ketika kami
istirahat di persimpangan sungai Mawang, pak kades bilang bahwa aktifitas
penambangan masyarakat yang suaranya terdengar itu berada dihilir sungai. Sungainya sangat jernih dan sangat
kontras dengan hilirnya sebagaimana yang kami lewati diawal perjalanan ini.
Tepat jam 13
kami sampai pada persimpangan rintisan dan bekas jalan perusahaan kayu periode
tahun 1980-an (PT. Papa Guna), yang sudah sejak lama tidak terpelihara. Kami berdua kembali ke kampung tetapi
melalui bekas jalan logging. Perjalanan melalui eks jalan logging ini juga
memberikan inspirasi tersendiri, dari variasi panorama dan kondisi perkembangan
vegetasi sampai pada teriknya sinar matahari memberikan respon tubuh yang
berbaur, ditambah kondisi capek karena perjalanan yg sudah relatif panjang dan
lama.
Walaupun pak
Kades tidak henti-hentinya berkisah baik terkait perjalanan panjang sejarah
usaha perkayuan yang dilakukan pengusaha yang didominasi oleh orang luar ini,
sampai keterlibatan personal dan pihak tertentu di pemerintahan bahkan orang
dekat penguasa dan berpengaruh, sehingga perusahaan kayu ini berjalan mulus
mengerok kekayaan bumi wilayah desa Nanga Betung ini, dan sekarang pergi tiada
kabar berita, dan tiada mau tahu apapun akibat yang diterima masyarakat desa
Nanga Betung, juga tidak mau tahu apa kemauan masyarakat Nanga Betung ini
kedepannya.
Beberapa
jembatan yang dulunya terpelihara kokoh bisa dilalui logging truck dengan
muatan ribuan kubik kayu, tetapi sekarang kita harus masuk kesungai untuk
melewatinya karena jembatannya sudah tidak berbentuk lagi. Menurut pak Kades
sudah lama sekali kendaraan roda empat tidak bisa masuk ke wilayah ini, lebih
kepada karena jembatan yang putus ini, sejak kegiatan pertambangan yang marak
mengarah kewilayah ini semua perlengkapan dibawa menggunakan kendaraan roda 2.
Pak Kades juga bercerita bahwa aksessibilitas ini juga memberi berkah dan rezeki
kepada beberapa pemuda didesanya dan didesa Boyan Tanjung, karena tidak banyak
yang mengetahui rute serta
kemahiran membawa kendaraan roda 2 ini dengan medan seperti ini, istilah ngojek
tetap dipakai akan tetapi khusus untuk rute ini terutama ke lokasi tambang
mulai di Km 20, sekarang tukang ojeknya sangat terbatas, sehingga tarifnya juga
cukup menggiurkan, yaitu untuk masuk sampai ke Km 20 harus mengeluarkan uang
sebesar Rp. 300,000,- dan jika ikut pulang cukup membayar Rp 75.000,- saja
(tetapi bukan pesan dijemput), jika pesan untuk dijemput maka harus membayar
jumlah kedua tarif itu (Rp 375.000,-). Tarif ini diterapkan untuk setiap trip
ojek, tidak membedakan muatan barang atau orang.
Perjalanan
yang melelahkan ini akhirnya kembali terbayar dengan melalui sebuah puncak
bukit dengan pemandangan hamparan Mahakarya Allah SWT, Tuhan Maha Kuasa
disertai angin sepoi yang meresap sampai ketulang, meringankan letih serta
mengingatkan bahwa kebesaran Tuhan dan betapa kecilnya diri mengarah pada wujud
berterimakasih dan bersyukur atas semua yang sudah dirasa dan dimiliki.
Berbekal
sisa-sisa tenaga dan kepercayaan diri serta rasa malu saya pada pak Kades,
perjalanan saya lanjutkan mengikuti langkah pak Kades yang tampak masih gagah
dan bersemangat, setengah jam kemudian kamipun tiba di persimpangan jalan raya,
dimana 2 orang tukang ojek sudah siap mengantar kami kembali ke Kampung/Desa
Nanga Betung. Butuh sekitar 15 menit, dengan melalui kota Kecamatan Boyan
Tanjung kemudian masuk ke arah Riam Menggelai sekitar 2 Km, kamipun tiba
kembali dirumahnya Kepala Desa Nanga Betung, sementara jam sudah menunjukkan
pukul 5.50 petang, dimana ketika saya merebahkan badan ditikar diruang
keluarganya Pak Kades, azan Maggrib-pun berkumandang.*
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !