Mengenal Lebih Dekat "Riani Kasih", Penulis "Hawa".
Iin Jumiwarsih (kiri) dan Riani Kasih (kanan) |
Twitter : @RianiKasih
Mengenai Saya
Saya;
Riani Kasih, lahir di Menendang, 20 Oktober 1989. Menyukai menulis sejak SMP,
tapi mulai aktif menulis cerpen, puisi, dan novel dan dipublikasikan dari awal
2007. Mulanya hobi baca sastra eh jadi pengen nulis sastra. Saya SD, SMP, dan
SMA di Pengkadan, Kapuas Hulu. Saya, S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP), jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Tanjungpura
Pontianak. Sekarang saya mengajar di SMPN 1 Pengkadan, Kapuas Hulu.
Inspirasi
saya
Ada
banyak yang menginspirasi saya, terutama kedua orang tua dan segala macam
cerita di semesta ini. Tokoh
inspirasi; Nenek saya Si Tukang Dongeng.
Penulis;
Pramoedya Ananta Toer, Dewi Lestari dan Bernard Batubara. Dari
sekian banyak yang menginspirasi saya, ada seseorang yang saya sebut Sebuah
Pribadi, dia itu Adham Fasya Maulana. Ehem.
Mengapa
menulis?
Suatu
waktu, saya membaca quotes dari Pramoedya Ananta Toer
dalam Child of All Nation, “Tahu kah kau mengapa aku
sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu tak kan padam
ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”Nah, ini
satu diantara alasan saya menulis, ya kutipan ini.
Selain
itu, saya ini punya kebiasaan buruk, ‘pelupa’. Nah, karena suka lupa, saya
menulis. Dan sederhananya saya menulis apa yang mau saya ingat.
Hawa
itu menceritakan romantisme dan psikologi tokoh bernama Hawa; perempuan
yang galau karena membatalkan rencana pernikahannya dengan
Abhirama–lelaki yang dipacarinya selama empat tahun–lantaran Hawa merasa
hubungan mereka, luarnya saja tampak baik-baik saja, sementara sebenarnya
mereka dua orang yang memaksa saling memahami. Membatalkan menikah itu bukanlah
hal yang patut dirayakan dengan bahagia, maka itu Hawa mengajak ayahnya, Praba
dan adiknya Luna yang mulanya tinggal di Pontianak pindah ke pedalaman
Kalimantan Kapuas Hulu, Desa Sejiram tempat Omanya demi menghindari ‘malu’
kepada lingkungan sekitarnya.
Novel
ini berlatar di pedalaman Kapuas Hulu –danau Sentarum. Pindah ke pedalaman
Kapuas Hulu, awalnya tidak lantas membuat Hawa merasa lebih baik, ia masih
harus berusaha menyembuhkan kesedihannya beberapa bulan dengan mengurung diri
di kamar. Ingatan-ingatan mengenai hancurnya rencana pernikahannya dengan
Abhirama membuatnya nyaris frustasi. Dalam frustasi dan upaya
menyembuhkan diri dari kesedihan-kesedihannya inilah, ia bertemu dengan Landu.
Landu –seorang polisi di pedalaman Kapuas Hulu, pria tampan, dewasa, dan
lajang–bertemu Hawa. Pertemuan yang mulanya ‘tidak berjalan baik’.
Hubungan mereka mengalami proses, dari saling menilai buruk,
kemudian menyadari asumsi awalnya salah, lalu dekat, jatuh cinta, dan menikah.’ Pernikahan
mereka mulanya berjalan normal, lalu mendapat ujian. Terjadi sebuah kecelakaan
mobil yang ditumpangi mereka berdua yang menyebabkan Hawa buta. Ini klimaksnya,
Landu membuktikan kesetian dan janji-janjinya pada Hawa. Bahwa ketika kita
berkata, “Aku mencintaimu selamanya.” Maka itu ialah janji, bahwa ‘selamanya’
itu waktu yang lama. Waktu yang tidak bisa kita tebak akan menghadirkan apa.
Nah, Landu berusaha membuktikan bahwa ia menerima keadaan Hawa dalam keadaan
sempurna dan tidak sempurna. Ini cerita mengenai, sebuah ketulusan itu ‘masih
ada’ di dunia antah berantah ini. Begitulah kira-kira.
Perjalanan Hawa.
Hawa
saya tulis mulanya potongan-potongan cerita. Saya tulis dari tahun 2010 dan
saya selesaikan akhir tahun 2012. Hawa saya ikutkan lomba novel Amore 2012 yang
diadakan oleh GPU (Gramedia Pustaka Utama)
Berbicara
perjalanan Hawa, Hawa itu sebuah perjalanan panjang ya. Saya tulis dengan
semangat 45, pengen menang lomba pastinya, meskipun saya sempat pesimis, Hawa
ini ndak bakalan menang. Lah, ini nasional dan Hawa adalah novel
pertama saya. Tapi, balik lagi, ke sebuah prinsip hidup saya, “Berusaha dan
selanjutnya serahkan kepada Tuhan.”
Meskipun
naskah Hawa saya tulis mulai sejak 2010, terjadi spasi yang panjang untuk
merampungkannya. Hal ini disebabkan karena saya disibukkan dengan banyak
perihal; skripsi dan antek-anteknya, pun setelah kelar skripsi saya terlalu
dalam euphoria lain. Euphoria terbitnya Antologi Cerpen yang saya buat dengan
teman sepermainan saya Mardian Sagiant yang berjudul ‘Kopang, (Literer
Khatulistiwa, 2012)’. Selain, ‘Kopang’ ada juga beberapa antologi
cerpen saya yang udah terbit sama teman-teman penulis Kalbar lainya, seperti
‘Orang-Orang di Batas Garis’ (2013), dan ‘Kalbar berimajinasi (2013).’ Buku
saya sebelumnya adalah kalaborasi dengan beberapa teman penulis Kalbar yang
diterbitkan secara indie. Sementara novel Hawa ini adalah novel pertama saya
dan langsung diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama Indonesia.
Oke
kembali ke naskah Hawa. Tiap saya baca naskah Hawa yang ndak rampung-rampung
saya selalu bertanya, “Ini naskah kapan selesainya?” lalu saya jawab sendiri,
“Kalo naskah ini jodoh saya, dia bakalan selesai.
PASTI.”
Suatu
hari, sahabat saya Mardian Sagiant, mengabarkan pada Oktober tahun 2012 kalo
Gramedia Pustaka Utama mengadakan lomba novel bergenre ‘Amore.’ dan ia mengajak
saya ikut. Saya dengan semangat mengiyakan. Kami mulai share ini
itu mengenai persyaratan lomba. Saya mulai search google, apa
itu novel amore. Berhasil menemukan apa yang saya cari, saya semakin semangat
45 menulis.
Yeah,
naskah Hawa rampung dalam waktu kurang lebih tiga bulan. Menurut persyaratan
lomba, naskah sudah harus ada di meja editor pada akhir Desember 2012. Saya
mengirim Hawa via Tiki bersama naskah Mardian Sagiant juga di pertengahan
Desember.
Menurut
aturan lomba Amore, pengumuman pemenang lomba akan diadakakan pada Maret 2013.
Oke, setelah saya kirim naskah Hawa, saya menunggu dengan lebih kepada tenang
daripada cemas. Sudah saya bilang “Berusaha dan selanjutnya serahkan kepada
Tuhan.” Sesekali saya melihat timeline twitter saya berharap
dapat mention dari orang Gramedia.
Nah,
terbukti pada waktunya Hawa membawa kabar baik, saya dapat mention dari
twitter resmi Gramedia bahwa, naskah Hawa lolos ke dalam 10 besar lalu beberapa
hari berikutnya di twitter Gramedia, mengumumkan Hawa menjadi pemenang dua
Lomba Novel Amore 2012. Pemenang Pertama, Mahagonny Hills by
Tia Widia dan pemenang ketiganyaHeart Quay by Putu Felisa. (:
Saya
sempat speechless beberapa menit, lebih kepada senang sisanya
saya tidak percaya, it’s so really a miracle happen to me. Bahkan
sampai sekarang saya masih merasa, ‘Norak-norak bergembira.’ (:
Tapi
ya, sekali lagi saya sudah berusaha dan Tuhan yang bekerja. Beberapa hari
berikutnya, saya dihubungi editor Gramedia bahwa Hawa akan diterbitkan bulan
Juli. Fixawal Juli Hawa terbit. Saya masih norak-norak bergembira
menyadari Hawa sudah nongkrong manis di rak buku Gramedia Indonesia. (:
Tentu
saya bersyukur sangat dalam kepada Tuhan dan semua pihak yang telah menjadikan
Hawa buku. Terutama juri lomba Amore, Hetih Rusli, Mbak Vera, Mbak Raya, Mbak
Michelle, Mas Ijul dan beberapa editor Gramedia lainnya. (:
Hawa itu inspirasinya siapa?
Setelah
Hawa terbit saya diserang pertanyaan dari orang-orang, “Hawa itu based
on true story yah?” (:
Saya
tertawa. Lalu, saya ingat di kelas kajian Sastra, dosen sastra saya sering
bilang “Karya sastra itu cerminan kehidupan. Dalam ilmu sastra itu mimetic namanya.”
Nah, bisa jadi ini sedikit mirip dari kisah amore saya. (:
Oke
kebetulan, saya punya pacar polisi–Adham Fasya Maulana–dan tokoh
utama dalam novel Hawa, Si Landu juga polisi. Nah ini memang bukan sebuah
kebetulan yang benar-benar kebetulan. Pacar saya ikut andil dalam penulisan
naskah, dia membantu saya membangun karakter tokoh Landu. Saya berpikir, saya
ingin menulis apa yang saya tahu, nah simplynya saya putuskan tokoh
utamanya polisi, jadilah Landu dan ketulusannya tercipta dalam novelHawa.
Meskipun dia menginspirasi saya, tapi ini bukan cerita nyata saya sama dia. Ini
lebih imajinatif. Hanya saja ada beberapa part ‘galau’ di awal
novel ini seperti sebuah ramalan masa depan utuk kisah amore saya dengan pacar
saya. Saya menulis Hawa bulan Oktober, November, dan jadi Desember. Nah, part ‘galau’
terjadi pada saya bulan Januari setelah naskah Hawa di meja editor. Kami
merencanakan pernikahan dan belum melangsungkannya sampai saat ini. Tapi kami
masih baik-baik saja meskipun beberapa bulan saya sempat
galau. Alhamdulillah, saya curhat di sini. Hahahhaha. Hawa
bukan based on true story. Hawa untuk mereka yang percaya bahwa
‘ketulusan’ itu maha mendamaikan, bahwa kebahagian itu milik orang-orang yang
mampu membedakan mana yang harus diperthanakan dan mana yang harus dilepaskan.
Okeh,
big thank’s to my Adham, you are my inspiration. Tetaplah menjadi sebuah
‘pribadi.’ Bahwa tidak semua polisi itu ‘playboy.’ *tos sama Si
Adham* Hhahhaahahaha.
Kenapa memilih setting Kapuas
Hulu?
Ya,
saya sudah pernah ditanya seperti ini oleh pembaca Hawa. Saya bukannya tidak
ingin menulis dengan setting di luar Kapuas Hulu. Misalnya di
kota besar atau bahkan di luar negeri. Lalu saya ingat ucapan Bernard Batubara
dalam sebuah wawancara mengenai antologi Milana-nya, dia menyukai tulisan yang
bawa lokalitas. Ini sejalan sama prinsip lain saya dalam menulis, saya menulis,
saya memperkenalkan budaya. Sebagai Dara Kapuas Hulu, saya pikir saya ingin
memperlihatkan kepada dunia terutama orang Indonesia, Kapuas Hulu itu punya
Danau Sentarum yang maha eksotis dan jangan sampai diakui Malaysia donk.
Nah, saya kira ini juga menjadi point plus, kenapa
naskah Hawa menang lomba Amore setelah bersaing dengan 673 naskah lain yang
masuk ke meja editor, saya bawa lokalitas dalam naskah Hawa.
Terbukti,
saya berhasil memperkenalkan Danau Sentarum kepunyaan Kapuas Hulu lewat tulisan
saya. Dari beberapa pembaca berharap bisa pergi ke Danau Sentarum. Mereka
juga search di google, mencari tahu keeksotisan Danau
Sentarum. Saya terlalu exictedterhadap karya apa saja yang membawa
lokalitas. Saya orang Indonesia, saya orang Kapuas Hulu yang lahir dan tumbuh
besar di Kapuas Hulu. Hawa ini bukti bahwa saya mencintai Kapuas Hulu. Nah,
satu lagi sebagai orang Kapuas Hulu, ayo ingat selalu kalimat ini, “Nusah
dalik, temunik tanam mona?” hahahaha.
Gimana bisa berhasil menang
nulis?
Saya
pikir tak ada sebuah keberhasilan yang didapatkan secara instan. Berhasil itu
butuh proses, kamu bisa saja jungkir balik dimainkan kehidupan, tapi kamu tetap
harus berdiri tegak; gagal sekali adalah proses menuju berhasil berkali-kali.
Satu hal yang pasti, menulis butuh konsisten. Sebab tidak mudah membangun;
tokoh, karakter, setting, sudut pandang, alur, sosial, dan budaya dalam sebuah
novel. Kita perlu mengajak pembaca benar-benar menikmati ‘teater of
mind’.
Dewi
Lesatri ‘Dee’ juga pernah berkata bahwa, “Menulis perlu kemampuan mengolah
diksi. Ide besar dan cemerlang tapi kalau dibungkus dengan bahasa yang tumpul
atau berantakan, tentu jadi tidak menarik.”
Saya
membenarkan perkataan Dee itu. Maka itu saya banyak membaca. Keseharian saya
selain ‘tukang apdet status galau di dunia maya’ ya saya banyak
belajar dengan membaca, melihat setiap perilaku di sekitar yang bisa dijadikan
inspirasi tulisan saya, mendengarkan music, lalu leyeh-leyeh depan
TV nonton film yang inspiratif. Sederhananya, berhasil menang dan nulis
‘amore.’ itu ya karena banyak baca, banyak dengar, peduli sama sekitar, nah kalau
udah gitu kamu jadi tahu mana karya yang baik dan inspiratif, baik di genre
amore maupun berkarya di genre apa saja. Sebab, karya yang baik akan
menginspirasi lahirnya karya yang baik pula. Tulisan yang baik akan sampai
kepada pembaca yang baik pula. Telak.
Buku apa selanjutnya yang akan
ditulis?
Buku
saya selanjutnya masih seputar ‘amore’ dan romance yang settingnya masih
lokalitas. Saya juga lagi ikut Lomba Menulis Novel Teen and Young Adult Romance
Bukune yang diadakan oleh penerbit Bukune. Pengumumannya akhir Juli ini. Doakan
saya menang lagi. Amin. (:
Pendapatan dari menulis?
Oke pertanyaan
dan jawaban yang ini menjadi inspirasi buat orang-orang, siapapun, tidak hanya untuk
pemuda Kapuas Hulu deh. Pemuda harus menulis–yang inspiratif–pastinya.
Dari
sudut pendapatan uang pokoknya begini deskripsinya, ‘Kamu tiba-tiba
dapat tambahan uang aja suatu waktu ngecek buku tabungan kamu. Sweet.’ Selain
itu ada banyak hal yang saya dapatkan dari menulis. Menulis membuat saya
bahagia. Menulis mengubah galau menjadi mesin pencetak uang, (matrealistis
ini hohow), menulis buat kamu diingat orang-orang bahkan itu bukti
kalau kamu pernah ada di dunia ini, ah menulis itu seksi deh pokoknya. Maka
itu, saya tidak akan pernah berhenti menulis. Tidak akan pernah.
Puncak tujuan hidup saya.
Saya
hidup dalam kata, ‘kadang-kadang,’ kalau sudah dihubungkan dengan tujuan hidup.
Saya kadang cepat puas lebih kepada bersyukur sih. Kadang saya merasa
perjalanan hidup saya ini luar biasa tapi saya masih belum punya apa-apa. Sebab
itu saya masih harus terus berjalan dan menikmati hal-hal ajaib yang terjadi di
hidup saya.
Target
saya selanjutnya, saya akan membahagiakan diri saya dengan membuat bangga dan
mencintai orang-orang yang ingin saya cintai. Kesannya kayak pilih-pilihya?
IYA, karena saya terinspirasi kalimat, “Kamu tidak bisa membahagiakan semua
orang, lah bahagia bagi orang-orang kan beda kadarnya, tapi
kamu bisa memilih siapa yang mau kamu bahagiakan.’
Terakhir,
siapapun kamu, hiduplah dengan membuat orang-orang yang kenal kamu merasa
bahagia dan merasa ‘ada’ saat berada di samping kamu
Wawancara oleh : Adhittia Egha Perdana
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !