Headlines News :
http://picasion.com/i/1URpX/
http://picasion.com/i/1UScV/
Home » » Catatan Retrospektif: Hidupku di Antara Suku Dayak Bukat dan Punan (I)

Catatan Retrospektif: Hidupku di Antara Suku Dayak Bukat dan Punan (I)

On Saturday, September 6, 2014 | 8:46 PM

Selama tahun 2009-2010, saya mengunjungi perkampungan-perkampungan Dayak di perhuluan Sungai Kapuas. Ada 5 perkampungan Dayak yang menjadi penjaga hulu sungai yang membelah hampir semua wilayah Kalimantan Barat tersebut yakni: Kampung Nanga Balang dan Matalunai (Suku Dayak Bukat), kampung Nanga Lapung, Nanga Bungan, Tanjung Lokang dan Bu'ung (Suku Dayak Punan). Meskipun keduanya sama-sama Dayak, tetapi tetap ada karakteristik khas dari keduanya yang membedakan satu sama lain baik dari segi bahasa, adat-istiadat, dan kebiasaan.

Untuk menjangkau kampung-kampung ini tidak ada alternatif lain selain menggunakan speedboat/longboat. Biasanya masyarakat Bukat dan Punan mendesain perahu yang lebih panjang, pipih, dan sedikit mancung di bagian depannya. Menurut mereka, dengan desainan seperti ini memudahkan perahu membelah gelombang-gelombang riam oleh karena semakin ke hulu, makin banyak bebatuan yang menonjol di permukaan air yang menyebabkan riam-riam yang bisa saja mengaramkan perahu mereka. Desain perahu seperti ini berbeda dengan desain perahu sesamanya hidup di wilayah hilir Sungai Kapuas.

Dengan demikian, perahu khas ini menjadi satu-satunya alat transportasi mereka menuju Kota Putussibau, Ibu Kota Kabupaten Kapuas Hulu. Sebab belum ada jalan darat yang menghubungkan Kalbar dan Kaltim. Biaya untuk hilir-mudik dari Hulu Sungai Kapuas ke Ibu Kota Kabupaten sangat mahal, karena umumnya mereka menggunakan mesin tempel 15-40 Pk (tenaga kuda). Mesin-mesin tempel ini harus diisi bensin yang dicampur oli. Tidak mengherankan jika sekali milir ke Kota mereka membawa banyak jerigen untuk membeli stok BBM bagi kebutuhan mereka selama sebulan di Hulu Sungai. Rata-rata setiap keluarga memiliki perahu dan mesin tempel untuk alat transportasi keluarga karena hampir semua aktivitas vital harus melalui Sungai. Selain itu, tidak ada perahu secara khusus menjadi angkutan umum. Jika mau ke Ibu kota kabupaten, tidak ada cara lain selain menggunakan perahu pribadi atau menumpang perahu keluarga lain yang kebetulan ke kota, tentu dengan pernjanjian mengganti ongkos BBM.

Mahalnya biaya hidup di Hulu Sungai membuat mayoritas masyarakat adat Hulu Sungai Kapuas ini bekerja sebagai penambang emas di Hulu Sungai Kapuas. Awalnya mereka hanya menggunakan teknologi sederhana seperti menyelam dengan menggunakan kaca mata renang untuk mengambil butiran-butiran emas di dasar sungai. Kemudian mulai memodifikasi kompresor untuk menjadi alat bantu pernafasan ketika menyelam. Namun seiring perkembangan zaman dan kompleksitas kebutuhan, mereka mulai menggunakan mesin-mesin penyedot pasir emas yang mereka namakan "mesin jek." Sehingga jika ditanya apa pekerjaannya, mereka akan menjawab : "ngejek emas."

Butiran-butiran emas yang diperoleh selama sebulan di Hulu Sungai inilah yang akan mereka jual sekali sebulan ketika milir ke Ibu Kota Kabupaten. Dari penjualan butiran emas, mereka dapat membelanjakkan aneka kebutuhan hidup (logistik) untuk sebulan selama di Hulu Sungai mulai dari sembako, BBM, pakaian, dll. Singkatnya, dari  butiran emas inilah mereka menggantungkan hidup keluarga mereka.

Selain itu, untuk kebutuhan lauk pauk mereka biasanya memancing ikan di Sungai dan berburu binatang dari hutan. Ruang mereka untuk berladang semakin sulit karena umumnya mereka hidup di kawasan inti Taman Nasional Betung Kerihun, yang mempersempit ruang gerak mereka untuk berladang selain faktor kawasan yang berbukit-bukit dan tidak terlalu bagus untuk dijadikan ladang padi. (FajarBaru)
Bersambung...

Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

http://picasion.com/i/1USKG/
 
Support : Bang Eceng | Template | @Adhittia_Egha
Copyright © 2013. Suara Uncak Kapuas - All Rights Reserved
Dirancang Oleh Adhittia Egha Atau Bang Eceng